Thursday, July 31, 2008
Alicia Keys Keberatan Sponsor Rokok
SUARA PEMBARUAN DAILY
--------------------------------------------------------------------------------
Alicia Keys Keberatan Sponsor Rokok
enyanyi R&B Alicia Keys keberatan dengan keterlibatan sebuah perusahaan rokok, PT HM Sampoerna yang tergabung dalam A Mild Live Production, dalam konser As I Am World Tour 2008, di Plenary Hall Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (31/7) malam. Ia merasa konser tunggalnya menjadi sarana mempromosikan rokok kepada masyarakat dan anak-anak di Indonesia.
A Mild Live Production, seperti yang dilansir BBC dan Fox, Rabu (30/7), merupakan sponsor terbesar konser As I Am World Tour 2008. Terlibatnya perusahaan rokok dalam konser tersebut, sangat bertolak belakang dengan kegiatan kampanye untuk kesehatan anak yang saat ini digeluti Keys. Menurut seorang juru bicara dari Campaign for Tobacco- Free Kids, Keys masih terlibat dengan kampanye Keep A Child Alive, yakni aksi peduli pada kesehatan anak dari HIV/AIDS di negara miskin.
Terkait dengan keterlibatan A Mild Live Production dalam konser As I Am World Tour 2008, Keys telah meminta pihak perusahaan rokok untuk menanggalkan semua brand dalam konsernya. Artinya, dalam promosi dan saat konser berlangsung, brand A Mild Live Production akan dihilangkan.
"Saya minta maaf pada organisasi antirokok, karena secara tidak langsung konser As I Am World Tour 2008 membantu perusahaan rokok mempromosikan produknya. Saat mengetahui keterlibatan perusahaan rokok dalam konser, saya telah meminta negoisasi ulang. Sayangnya, promosi telah berjalan sebulan sebelum konser," papar Keys.
Sementara itu, Philip Morris dari Philip Morris International yang merupakan pemilik sebagian besar saham PT HM Sampoerna Tbk menyatakan, tidak keberatan atas teguran yang dilayangkan organisasi antirokok tersebut. Morris menjelaskan, dalam setiap poster konser As I Am World 2008 telah dilengkapi dengan pemberitahuan akan bahaya merokok.
"Perusahaan rokok sejak dulu selalu ambil bagian dalam konser-konser musik di dunia. Namun, kami tetap konsisten memberikan penjelasan akan bahaya merokok," papar Morris.
Ditambahkan Morris, konser Keys dalam As I Am World Tour 2008, di Jakarta akan tetap berlangsung sesuai jadwal. Namun, sesuai perjanjian, brand produk rokok di beberapa bagian kemungkinan dihilangkan.
Sementara itu secara terpisah, humas dari promotor konser Rinny Noor Production (RNP) Ria H Drajat juga menegaskan, tidak ada masalah terkait sponsor rokok. Ria mengaku pihak RNP tidak mendapat informasi keberatan Keys, terlebih lagi, tiket untuk konser Keys sudah terjual habis. Tiket untuk konser As I Am World Tour 2008 berkisar Rp 750.000 sampai Rp 3 juta.
"Dipastikan, konser akan berlangsung sesuai jadwal," ujar Ria saat dihubungi SP melalui telepon selulernya. [EAS/U-5]
--------------------------------------------------------------------------------
Alicia Keys Keberatan Sponsor Rokok
enyanyi R&B Alicia Keys keberatan dengan keterlibatan sebuah perusahaan rokok, PT HM Sampoerna yang tergabung dalam A Mild Live Production, dalam konser As I Am World Tour 2008, di Plenary Hall Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (31/7) malam. Ia merasa konser tunggalnya menjadi sarana mempromosikan rokok kepada masyarakat dan anak-anak di Indonesia.
A Mild Live Production, seperti yang dilansir BBC dan Fox, Rabu (30/7), merupakan sponsor terbesar konser As I Am World Tour 2008. Terlibatnya perusahaan rokok dalam konser tersebut, sangat bertolak belakang dengan kegiatan kampanye untuk kesehatan anak yang saat ini digeluti Keys. Menurut seorang juru bicara dari Campaign for Tobacco- Free Kids, Keys masih terlibat dengan kampanye Keep A Child Alive, yakni aksi peduli pada kesehatan anak dari HIV/AIDS di negara miskin.
Terkait dengan keterlibatan A Mild Live Production dalam konser As I Am World Tour 2008, Keys telah meminta pihak perusahaan rokok untuk menanggalkan semua brand dalam konsernya. Artinya, dalam promosi dan saat konser berlangsung, brand A Mild Live Production akan dihilangkan.
"Saya minta maaf pada organisasi antirokok, karena secara tidak langsung konser As I Am World Tour 2008 membantu perusahaan rokok mempromosikan produknya. Saat mengetahui keterlibatan perusahaan rokok dalam konser, saya telah meminta negoisasi ulang. Sayangnya, promosi telah berjalan sebulan sebelum konser," papar Keys.
Sementara itu, Philip Morris dari Philip Morris International yang merupakan pemilik sebagian besar saham PT HM Sampoerna Tbk menyatakan, tidak keberatan atas teguran yang dilayangkan organisasi antirokok tersebut. Morris menjelaskan, dalam setiap poster konser As I Am World 2008 telah dilengkapi dengan pemberitahuan akan bahaya merokok.
"Perusahaan rokok sejak dulu selalu ambil bagian dalam konser-konser musik di dunia. Namun, kami tetap konsisten memberikan penjelasan akan bahaya merokok," papar Morris.
Ditambahkan Morris, konser Keys dalam As I Am World Tour 2008, di Jakarta akan tetap berlangsung sesuai jadwal. Namun, sesuai perjanjian, brand produk rokok di beberapa bagian kemungkinan dihilangkan.
Sementara itu secara terpisah, humas dari promotor konser Rinny Noor Production (RNP) Ria H Drajat juga menegaskan, tidak ada masalah terkait sponsor rokok. Ria mengaku pihak RNP tidak mendapat informasi keberatan Keys, terlebih lagi, tiket untuk konser Keys sudah terjual habis. Tiket untuk konser As I Am World Tour 2008 berkisar Rp 750.000 sampai Rp 3 juta.
"Dipastikan, konser akan berlangsung sesuai jadwal," ujar Ria saat dihubungi SP melalui telepon selulernya. [EAS/U-5]
Monday, July 21, 2008
Persepuluhan dan Persembahan Dalam Bisnis
Setiap bisnis secara umum merefleksikan nilai dari prinsip-prinsip yang dipegang oleh pemiliknya atau manajernya. Dan refleksi nilai-nilai itulah yang menentukan apakan suatu bisnis itu diberi label Kristen atau non-Kristen. Jika suatu bisnis ditujukan untuk melayani Tuhan, bisnis itu harus mempunyai satu sasaran utama, yaitu memuliakan Tuhan. Salah satu dari fungsi mendasar suatu bisnis Kristen adalah mendanai pekerjaan Tuhan. Dan untuk maksud tersebut, banyak pemilik atau manajer bisnis Kristen yang memilih untuk memberikan persepuluhan dari hasil bisnisnya.
Prinsip dari persepuluhan dalam bisnis ini tidak berbeda secara dramatis dibandingkan dengan persepuluhan dari pendapatan pribadi. Sebenarnya, kebanyakan dari ayat Alkitab dalam perjanjian lama berhubungan dengan pemasukan yang didapat dari bisnis, karena mayoritas orang-orang dalam perjanjian lama bekerja di bidang agraris. Prinsip dari memberi perpuluhan dari bisnis sangat jelas dalam alkitab: "Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu." (Amsal 3:9). Dalam perjanjian lama, orang-orang Ibrani membawa hampir 23% dari panghasilan mereka ke rumah penyimpanan Tuhan. Penjaga dari rumah penyimpanan itu, para orang Lewi, menggunakan apa yang sudah mereka berikan untuk para janda, orang-orang asing yang miskin dalam daerah itu, yatim piatu, dan orang-orang Lewi sendiri.
Dalam perjanjian baru, orang-orang tidak lagi membawa persepuluhan dan persembahan mereka ke rumah penyimpanan secara fisik. Tapi mereka memberikannya kepada gereja. Sebagai timbal baliknya, gereja menggunakan persepuluhan untuk mengabarkan injil. Persembahan dugunakan untuk dukungan administratif dan umum dari gereja, dan pemberian sukarela digunakan untuk orang-orang miskin, para janda, yatim piatu, serta orang-orang lain yang membutuhkan. Alkitab menyatakan secara tidak langsung bahwa tujuan dari memberi persepuluhan dan persembahan adalah untuk membuktikan atau menjadi kesaksian dari kepemilikan Tuhan, dan dengan demikian itu juga berlaku secara individual.
Tidak pernah dikatakan bahwa semua orang atau semua bisnis harus memberikan jumlah yang sama atau dengan cara yang sama, tapi masing-masing harus memberi dengan kerelaan dan sukacita (lihat 2Kor 9:6-7). Kita harus memberi dari hati kita, karena itu seharusnya pemberian tidak dipandang sebagai hukum tapi sebagai indikator dari ketaatan kita kepada hukum Tuhan. Hal ini dikonfirmasi dalam kitab Maleakhi, seorang nabi mengkonfrontasi kaum Yahudi tentang dosa mereka yang berupa ketidaktaatan, menggunakan kelalaian mereka untuk memberi sebagai contoh.
Memberi dari keuntungan kotor atau bersih?
Seorang pengkotbah dari abad 19 yang terkenal, Charles Spurgeon, mengatakan, "Dalam tahun-tahun saya melayani Tuhan, saya menemukan kebenaran yang tidak pernah gagal dan tidak pernah dikompromikan. Kebenaran itu adalah, tidak mungkin bagi seorangpun untuk mengembalikan semuanya kepada Tuhan. Bahkan walaupun saya memberikan semua yang saya miliki kepadaNya, Dia pasti akan menemukan cara untuk mengembalikannya kepada saya bahkan berkali lipat melebihi dari apa yang sudah saya berikan." Karena mustahil untuk mengembalikan kepada Tuhan, maka hal tentang apakah bisnis harus memberi dari keuntungan kotor atau keuntungan bersih menjadi pokok pembicaraan kita. "Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu, dan di samping itu akan ditambah lagi kepadamu." (Mark 4:24).
Jika sebuah bisnis benar-benar meyakini dan mau menghormati Tuhan dari peningkatan yang Dia sediakan, maka bisnis itu harus mempertimbangkan untuk memberi dari keuntungan kotor dan percaya bahwa Tuhan akan menyediakan apa yang dibutuhkan setelah bisnis itu membayar semua kreditor dan biaya-biaya lain. Meskipun ada anjuran alkitabiah untuk memberi dari buah sulung, atau dari peningkatan bisnis itu, sebuah bisnis tidak seharusnya memberi dari bagian yang menjadi hak milik para kreditor ataupun karyawan. Pemberian bisnis seharusnya diambil dari keuntungan bisnis setelah biaya-biaya overhead, gaji para karyawan, dan kreditor dibayar. Setiap karyawan lalu memberi dari jumlah yang mereka terima sebagai gaji.
Pemberian Korporasi
Korporasi, tidak seperti bisnis, biasanya dimiliki oleh sekumpulan orang dari berbagai gaya hidup dan kepercayaan spiritual. Karena seseorang tidak memiliki seluruh saham dalam korporasi, orang tersebut harus mempertimbangkan memberi persepuluhan dari kenaikan nilai sahamnya sendiri dalam korporasi itu kepada Tuhan. Sebuah alternatif mungkin saja dengan misalnya menggunakan sepersepuluh dari saham korporasi dan mendirikan yayasan Kristen, lalu menentukan tujuan untuk mengendalikan pertumbuhan masa depan korporasi dan mengumumkan dividen untuk digunakan dalam pekerjaan Tuhan.
Kesimpulan
Baik individu maupun bisnis seharusnya lebih mencari cara untuk memberi, dibanding mencoba menemukan cara untuk menunda pemberian atau menyembunyikan apa yang seharusnya kita berikan. Ingatlah bahwa Tuhan lebih tertarik pada hati kita lebih dari besarnya jumlah pemberian kita. Ada anjuran dalam firmanNya untuk memberi dari buah sulung kita, atau kenaikannya. Ini dapat diaplikasikan baik secara perorangan ataupun bisnis. Bagaimanapun juga, pemilik bisnis harus memperhatikan bahwa pemberian bisnis harus hanya dari keuntungan yang menjadi milik bisnis itu sendiri, bukan dari apa yang seharusnya menjadi hak para kreditor, pemegang saham, karyawan, atau lainnya.
Prinsip dari persepuluhan dalam bisnis ini tidak berbeda secara dramatis dibandingkan dengan persepuluhan dari pendapatan pribadi. Sebenarnya, kebanyakan dari ayat Alkitab dalam perjanjian lama berhubungan dengan pemasukan yang didapat dari bisnis, karena mayoritas orang-orang dalam perjanjian lama bekerja di bidang agraris. Prinsip dari memberi perpuluhan dari bisnis sangat jelas dalam alkitab: "Muliakanlah TUHAN dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu." (Amsal 3:9). Dalam perjanjian lama, orang-orang Ibrani membawa hampir 23% dari panghasilan mereka ke rumah penyimpanan Tuhan. Penjaga dari rumah penyimpanan itu, para orang Lewi, menggunakan apa yang sudah mereka berikan untuk para janda, orang-orang asing yang miskin dalam daerah itu, yatim piatu, dan orang-orang Lewi sendiri.
Dalam perjanjian baru, orang-orang tidak lagi membawa persepuluhan dan persembahan mereka ke rumah penyimpanan secara fisik. Tapi mereka memberikannya kepada gereja. Sebagai timbal baliknya, gereja menggunakan persepuluhan untuk mengabarkan injil. Persembahan dugunakan untuk dukungan administratif dan umum dari gereja, dan pemberian sukarela digunakan untuk orang-orang miskin, para janda, yatim piatu, serta orang-orang lain yang membutuhkan. Alkitab menyatakan secara tidak langsung bahwa tujuan dari memberi persepuluhan dan persembahan adalah untuk membuktikan atau menjadi kesaksian dari kepemilikan Tuhan, dan dengan demikian itu juga berlaku secara individual.
Tidak pernah dikatakan bahwa semua orang atau semua bisnis harus memberikan jumlah yang sama atau dengan cara yang sama, tapi masing-masing harus memberi dengan kerelaan dan sukacita (lihat 2Kor 9:6-7). Kita harus memberi dari hati kita, karena itu seharusnya pemberian tidak dipandang sebagai hukum tapi sebagai indikator dari ketaatan kita kepada hukum Tuhan. Hal ini dikonfirmasi dalam kitab Maleakhi, seorang nabi mengkonfrontasi kaum Yahudi tentang dosa mereka yang berupa ketidaktaatan, menggunakan kelalaian mereka untuk memberi sebagai contoh.
Memberi dari keuntungan kotor atau bersih?
Seorang pengkotbah dari abad 19 yang terkenal, Charles Spurgeon, mengatakan, "Dalam tahun-tahun saya melayani Tuhan, saya menemukan kebenaran yang tidak pernah gagal dan tidak pernah dikompromikan. Kebenaran itu adalah, tidak mungkin bagi seorangpun untuk mengembalikan semuanya kepada Tuhan. Bahkan walaupun saya memberikan semua yang saya miliki kepadaNya, Dia pasti akan menemukan cara untuk mengembalikannya kepada saya bahkan berkali lipat melebihi dari apa yang sudah saya berikan." Karena mustahil untuk mengembalikan kepada Tuhan, maka hal tentang apakah bisnis harus memberi dari keuntungan kotor atau keuntungan bersih menjadi pokok pembicaraan kita. "Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu, dan di samping itu akan ditambah lagi kepadamu." (Mark 4:24).
Jika sebuah bisnis benar-benar meyakini dan mau menghormati Tuhan dari peningkatan yang Dia sediakan, maka bisnis itu harus mempertimbangkan untuk memberi dari keuntungan kotor dan percaya bahwa Tuhan akan menyediakan apa yang dibutuhkan setelah bisnis itu membayar semua kreditor dan biaya-biaya lain. Meskipun ada anjuran alkitabiah untuk memberi dari buah sulung, atau dari peningkatan bisnis itu, sebuah bisnis tidak seharusnya memberi dari bagian yang menjadi hak milik para kreditor ataupun karyawan. Pemberian bisnis seharusnya diambil dari keuntungan bisnis setelah biaya-biaya overhead, gaji para karyawan, dan kreditor dibayar. Setiap karyawan lalu memberi dari jumlah yang mereka terima sebagai gaji.
Pemberian Korporasi
Korporasi, tidak seperti bisnis, biasanya dimiliki oleh sekumpulan orang dari berbagai gaya hidup dan kepercayaan spiritual. Karena seseorang tidak memiliki seluruh saham dalam korporasi, orang tersebut harus mempertimbangkan memberi persepuluhan dari kenaikan nilai sahamnya sendiri dalam korporasi itu kepada Tuhan. Sebuah alternatif mungkin saja dengan misalnya menggunakan sepersepuluh dari saham korporasi dan mendirikan yayasan Kristen, lalu menentukan tujuan untuk mengendalikan pertumbuhan masa depan korporasi dan mengumumkan dividen untuk digunakan dalam pekerjaan Tuhan.
Kesimpulan
Baik individu maupun bisnis seharusnya lebih mencari cara untuk memberi, dibanding mencoba menemukan cara untuk menunda pemberian atau menyembunyikan apa yang seharusnya kita berikan. Ingatlah bahwa Tuhan lebih tertarik pada hati kita lebih dari besarnya jumlah pemberian kita. Ada anjuran dalam firmanNya untuk memberi dari buah sulung kita, atau kenaikannya. Ini dapat diaplikasikan baik secara perorangan ataupun bisnis. Bagaimanapun juga, pemilik bisnis harus memperhatikan bahwa pemberian bisnis harus hanya dari keuntungan yang menjadi milik bisnis itu sendiri, bukan dari apa yang seharusnya menjadi hak para kreditor, pemegang saham, karyawan, atau lainnya.
Reksadana: Alternatif Investasi Pemodal Kecil (1)
Reksadana: Alternatif Investasi Pemodal Kecil (1)
Punya dana yang agak terbatas tapi ingin merasakan gejolak pasar modal? Atau ingin kecipratan melonjaknya harga saham tanpa harus pusing memelototi angka dan nguping kiri-kanan? Cobalah reksa dana. "Celengan" baru ini menawarkan banyak keuntungan dan kemudahan. Tapi prinsip teliti sebelum membeli tetap harus dipegang.
Pusing memikirkan uang bukan dominasi mereka yang tak punya. Yang kelebihan uang ternyata juga pusing. Setidaknya itu dialami Mimi (35), ibu rumah tangga sekaligus wanita pekerja. Awal tahun ini ia memperoleh bonus lumayan besar. Demikian pula dengan suaminya. Tapi kelebihan uang itu justru memusingkan kepalanya. Rencananya mau membeli rumah. Apa daya ternyata tak cukup.Untuk sementara, kelebihan uang itu ditabung di sebuah bank swasta dengan bunga 13% per tahun. Tapi seperti pengakuannya, ia menjadi royal dalam berbelanja. Investasi emas, ia risi ketika harus menjualnya sewaktu memerlukan uang. Ketika ia mencoba memikirkan deposito, suaminya menawarkan kemungkinan memperbesar uang dengan membeli reksa dana. Dari beberapa brosur yang dibacanya, Mimi hampir merasa yakin ia bakal mengantungi lebih dari 17% dari hasil menanamkan uangnya di reksa dana. Bunga itu pun tak harus ditunggunya selama satu tahun seperti umumnya bunga yang diberikan bank.
"Perkawinan" manajer dengan bank
Reksa (= kumpul) dana atau istilah asingnya mutual fund sebenarnya bukanlah produk baru dalam bidang investasi. Seperti penuturan Tan Kok An, M.B.A., senior sssistant vice president Bank Danamon serta Frida Lidwina (23), fund executive Panin Securitas - penerbit reksa dana Panin Dana Optima dan Panin Dana Maksima, di Amerika jenis investasi ini sudah berusia lebih dari seabad. Tak heran kalau di sana investasi reksa dana tak ubahnya seperti tabungan saja. "Di Amerika sudah mengakar di masyarakat. Ibu-ibu rumah tangga pun investasi di mutual fund," kata Tan yang sempat kuliah di Amerika.
Prinsipnya, reksa dana adalah wadah yang mengumpulkan dana dari masyarakat untuk dikelola oleh manajer investasi dan diinvestasikan kembali ke pasar modal, seperti efek ekuitas (saham), efek berpendapatan tetap (obligasi), dan instrumen pasar uang (promes, wesel). Tujuannya tentu untuk memperoleh keuntungan lebih baik. Dana yang terkumpul tidak dipegang oleh manajer investasi, tapi disimpan dan diasuransikan oleh bank yang memperoleh izin dari Bapepam sebagai bank penjamin (kustodian).Sejak maraknya reksa dana tahun 1996, sekarang telah beredar sekitar 60-an reksa dana dalam masyarakat. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan ada dua bentuk reksa dana, yaitu perseroan atau tertutup (close-end & limited liability atau corporote type) dan kontrak investasi kolektif (KIK) atau terbuka (open-end atau contractual type). Perbedaan kedua bentuk itu terletak pada tingkat likuiditas (kemudahan diuangkan) dan apa yang dijual kepada investor.
Reksa dana tertutup menjual saham, yang terbuka menjual unit penyertaan (UP). Pada reksa dana tertutup likuiditasnya 100% tergantung pada likuiditas bursa efek tempat ia dicatatkan. Pada KIK, manajer investasi wajib membeli kembali bila investor ingin menguangkannya. Karena sifat-sifat itu, reksa dana terbuka lebih diminati. Sampai saat ini hanya ada satu reksa dana tertutup yaitu BDNI Reksa Dana. Itu pun rencananya akan diubah menjadi reksa dana terbuka.
Berdasarkan portofolionya ada empat macam reksa dana. Pertama, reksa dana fixed income (berpendapatan tetap). Di sini minimum 70% dana yang terkumpul diinvestasikan ke dalam instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi, dan instrumen pasar uang seperti CD (certificate of deposito), CP (commercial papers), MTN (medium term note), dll. Kedua, reksa dana saham. Pada jenis ini minimum 70% dana terkumpul dibiakkan dalam instrumen efek ekuitas (saham). Ketiga, reksa dana campuran. Dana yang terkumpul dibagi rata antara pendapatan tetap dan efek ekuitas. Keempat, reksa dana pasar uang; 100% dana terkumpul ditanamkan dalam instrumen pasar uang (seperti deposito).
Dalam bahasa Frida, antara manajer investasi dan bank kustodian terjadi "perkawinan", membentuk sebuah keluarga bernama reksa dana. Bapepam bertindak sebagai saksi, yang juga akan mengawasi selama keluarga itu masih akur. Layaknya sebuah perkawinan, bank kustodian tidak boleh berasal dari "keluarga" manajer investasi dalam arti bukan afiliasi atau grupnya. "Misalnya Panin Securitas tidak bisa menunjuk Bank Panin sebagai kustodiannya. Sama aja bo'ong," contoh Frida. Keluarga ini bisa bubar atas persetujuan Bapepam.
Di Indonesia jabang bayi reksa dana sudah lahir sejak 1977. PT (Persero) Danareksa yang membidani kelahirannya dalam bentuk unit trust. Masa itu PT Danareksa didirikan untuk memasyarakatkan kepemilikan saham dan bukti kepemilikan perusahaan lainnya (financial assets). Caranya, Danareksa menjadi perantara keuangan dengan menjembatani masa jatuh tempo, denominasi, dan pengurangan risiko melalui diversifikasi investasi. Sertifikat Danareksa bisa dibeli hampir di seluruh Indonesia melalui bank-bank pemerintah yang menjadi agennya. Kurs jual-belinya pun akrab di telinga kita karena dipublikasikan lewat corong RRI, biasanya setelah siaran berita pukul 20.00 WIB.
Kalau akhir-akhir ini reksa dana tumbuh pesat, itu karena dipupuk oleh iklim pasar modal yang kondusif serta ditunjang oleh Bapepam yang rajin mendorong perusahaan sekuritas yang memiliki izin sebagai manajer investasi untuk membuka reksa dana. Menteri Keuangan pun ikut mendorong menjamurnya reksa dana dengan mengeluarkan SK yang memperbolehkan Dana Pensiun menanamkan uangnya di reksa dana meski dengan batasan maksimal 10% dari seluruh dana investasi untuk sebuah reksa dana.
Sebagai sebuah bentuk investasi, reksa dana tentu menjanjikan keuntungan. Ada dua bentuk keuntungan yang bisa diraih, yakni berupa uang tunai (dividen) seperti pada Danareksa dan pertumbuhan aset jika nilai efek dalam portofolio reksa dana meningkat. Pertumbuhan aset ini menjadi salah satu keunggulan reksa dana dibandingkan dengan tabungan atau deposito yang hanya memberikan pendapatan berupa bunga. Pendapatan dari dividen bisa dicairkan (redeem) atau diinvestasikan kembali untuk membeli UP tambahan pada reksa dana tersebut.
Selain berbuah untung, reksa dana juga bisa rugi karena termasuk dalam investasi non fixed income. Jadi bukan seperti deposito dengan bayangan keuntungan yang sudah tercetak hitam di atas putih. Meski Bapepam mengharamkan janji keuntungan kepada pemodal, namun sah-sah saja kalau manajer investasi mematok suatu target keuntungan berdasarkan pengalamannya. "Jadi tidak bisa kita bilang, 'Eh, ikut reksa dana dong. Nanti dapat untung 50%.' Tidak bisa itu, tapi mungkin," kata Frida. Besar-kecilnya keuntungan investor sangat bergantung pada turun-naiknya nilai instrumen tempat reksa dana dibenamkan. Tapi soal bagaimana memainkan dana ke dalam pasar modal sepenuhnya tergantung pada manajer investasi. Investor tinggal ongkang-ongkang kaki sambil menunggu hasil.
Bagi investor tentu hal itu sangat menggoda. Investor tak perlu memelototi monitor dan menguping rumor serta menganalisis dan harus sport jantung, seperti yang terjadi pada investor saham. Investor akan semakin tergoda kalau tahu keuntungan reksa dana bukanlah objek pajak. Ini berbeda dengan deposito yang dikenai pajak 15%. Godaan lain, selain likuid dan dikelola oleh profesional, harganya relatif murah. Harga satu UP-nya Rp 1.000,- pada penawaran perdana. Setelah penawaran perdana, harga tersebut berubah sesuai dengan nilai aktiva bersih (NAB) yang merupakan nilai per-UP yang ditentukan berdasar rumus: total aktiva dikurangi total kewajiban, lalu dibagi jumlah UP yang terjual. Jadi bisa turun, bisa pula naik.
NAB itu mencerminkan nilai sebenarnya dari dana masyarakat pemodal yang ditanamkan dalam reksa dana pada satu periode, dan dihitung oleh bank kustodian untuk menjaga objektivitasnya. Hasilnya bisa dipantau pada surat kabar seperti Bisnis Indonesia atau Neraca Ekonomi.
!
Punya dana yang agak terbatas tapi ingin merasakan gejolak pasar modal? Atau ingin kecipratan melonjaknya harga saham tanpa harus pusing memelototi angka dan nguping kiri-kanan? Cobalah reksa dana. "Celengan" baru ini menawarkan banyak keuntungan dan kemudahan. Tapi prinsip teliti sebelum membeli tetap harus dipegang.
Pusing memikirkan uang bukan dominasi mereka yang tak punya. Yang kelebihan uang ternyata juga pusing. Setidaknya itu dialami Mimi (35), ibu rumah tangga sekaligus wanita pekerja. Awal tahun ini ia memperoleh bonus lumayan besar. Demikian pula dengan suaminya. Tapi kelebihan uang itu justru memusingkan kepalanya. Rencananya mau membeli rumah. Apa daya ternyata tak cukup.Untuk sementara, kelebihan uang itu ditabung di sebuah bank swasta dengan bunga 13% per tahun. Tapi seperti pengakuannya, ia menjadi royal dalam berbelanja. Investasi emas, ia risi ketika harus menjualnya sewaktu memerlukan uang. Ketika ia mencoba memikirkan deposito, suaminya menawarkan kemungkinan memperbesar uang dengan membeli reksa dana. Dari beberapa brosur yang dibacanya, Mimi hampir merasa yakin ia bakal mengantungi lebih dari 17% dari hasil menanamkan uangnya di reksa dana. Bunga itu pun tak harus ditunggunya selama satu tahun seperti umumnya bunga yang diberikan bank.
"Perkawinan" manajer dengan bank
Reksa (= kumpul) dana atau istilah asingnya mutual fund sebenarnya bukanlah produk baru dalam bidang investasi. Seperti penuturan Tan Kok An, M.B.A., senior sssistant vice president Bank Danamon serta Frida Lidwina (23), fund executive Panin Securitas - penerbit reksa dana Panin Dana Optima dan Panin Dana Maksima, di Amerika jenis investasi ini sudah berusia lebih dari seabad. Tak heran kalau di sana investasi reksa dana tak ubahnya seperti tabungan saja. "Di Amerika sudah mengakar di masyarakat. Ibu-ibu rumah tangga pun investasi di mutual fund," kata Tan yang sempat kuliah di Amerika.
Prinsipnya, reksa dana adalah wadah yang mengumpulkan dana dari masyarakat untuk dikelola oleh manajer investasi dan diinvestasikan kembali ke pasar modal, seperti efek ekuitas (saham), efek berpendapatan tetap (obligasi), dan instrumen pasar uang (promes, wesel). Tujuannya tentu untuk memperoleh keuntungan lebih baik. Dana yang terkumpul tidak dipegang oleh manajer investasi, tapi disimpan dan diasuransikan oleh bank yang memperoleh izin dari Bapepam sebagai bank penjamin (kustodian).Sejak maraknya reksa dana tahun 1996, sekarang telah beredar sekitar 60-an reksa dana dalam masyarakat. Dalam UU Pasar Modal 1995 disebutkan ada dua bentuk reksa dana, yaitu perseroan atau tertutup (close-end & limited liability atau corporote type) dan kontrak investasi kolektif (KIK) atau terbuka (open-end atau contractual type). Perbedaan kedua bentuk itu terletak pada tingkat likuiditas (kemudahan diuangkan) dan apa yang dijual kepada investor.
Reksa dana tertutup menjual saham, yang terbuka menjual unit penyertaan (UP). Pada reksa dana tertutup likuiditasnya 100% tergantung pada likuiditas bursa efek tempat ia dicatatkan. Pada KIK, manajer investasi wajib membeli kembali bila investor ingin menguangkannya. Karena sifat-sifat itu, reksa dana terbuka lebih diminati. Sampai saat ini hanya ada satu reksa dana tertutup yaitu BDNI Reksa Dana. Itu pun rencananya akan diubah menjadi reksa dana terbuka.
Berdasarkan portofolionya ada empat macam reksa dana. Pertama, reksa dana fixed income (berpendapatan tetap). Di sini minimum 70% dana yang terkumpul diinvestasikan ke dalam instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi, dan instrumen pasar uang seperti CD (certificate of deposito), CP (commercial papers), MTN (medium term note), dll. Kedua, reksa dana saham. Pada jenis ini minimum 70% dana terkumpul dibiakkan dalam instrumen efek ekuitas (saham). Ketiga, reksa dana campuran. Dana yang terkumpul dibagi rata antara pendapatan tetap dan efek ekuitas. Keempat, reksa dana pasar uang; 100% dana terkumpul ditanamkan dalam instrumen pasar uang (seperti deposito).
Dalam bahasa Frida, antara manajer investasi dan bank kustodian terjadi "perkawinan", membentuk sebuah keluarga bernama reksa dana. Bapepam bertindak sebagai saksi, yang juga akan mengawasi selama keluarga itu masih akur. Layaknya sebuah perkawinan, bank kustodian tidak boleh berasal dari "keluarga" manajer investasi dalam arti bukan afiliasi atau grupnya. "Misalnya Panin Securitas tidak bisa menunjuk Bank Panin sebagai kustodiannya. Sama aja bo'ong," contoh Frida. Keluarga ini bisa bubar atas persetujuan Bapepam.
Di Indonesia jabang bayi reksa dana sudah lahir sejak 1977. PT (Persero) Danareksa yang membidani kelahirannya dalam bentuk unit trust. Masa itu PT Danareksa didirikan untuk memasyarakatkan kepemilikan saham dan bukti kepemilikan perusahaan lainnya (financial assets). Caranya, Danareksa menjadi perantara keuangan dengan menjembatani masa jatuh tempo, denominasi, dan pengurangan risiko melalui diversifikasi investasi. Sertifikat Danareksa bisa dibeli hampir di seluruh Indonesia melalui bank-bank pemerintah yang menjadi agennya. Kurs jual-belinya pun akrab di telinga kita karena dipublikasikan lewat corong RRI, biasanya setelah siaran berita pukul 20.00 WIB.
Kalau akhir-akhir ini reksa dana tumbuh pesat, itu karena dipupuk oleh iklim pasar modal yang kondusif serta ditunjang oleh Bapepam yang rajin mendorong perusahaan sekuritas yang memiliki izin sebagai manajer investasi untuk membuka reksa dana. Menteri Keuangan pun ikut mendorong menjamurnya reksa dana dengan mengeluarkan SK yang memperbolehkan Dana Pensiun menanamkan uangnya di reksa dana meski dengan batasan maksimal 10% dari seluruh dana investasi untuk sebuah reksa dana.
Sebagai sebuah bentuk investasi, reksa dana tentu menjanjikan keuntungan. Ada dua bentuk keuntungan yang bisa diraih, yakni berupa uang tunai (dividen) seperti pada Danareksa dan pertumbuhan aset jika nilai efek dalam portofolio reksa dana meningkat. Pertumbuhan aset ini menjadi salah satu keunggulan reksa dana dibandingkan dengan tabungan atau deposito yang hanya memberikan pendapatan berupa bunga. Pendapatan dari dividen bisa dicairkan (redeem) atau diinvestasikan kembali untuk membeli UP tambahan pada reksa dana tersebut.
Selain berbuah untung, reksa dana juga bisa rugi karena termasuk dalam investasi non fixed income. Jadi bukan seperti deposito dengan bayangan keuntungan yang sudah tercetak hitam di atas putih. Meski Bapepam mengharamkan janji keuntungan kepada pemodal, namun sah-sah saja kalau manajer investasi mematok suatu target keuntungan berdasarkan pengalamannya. "Jadi tidak bisa kita bilang, 'Eh, ikut reksa dana dong. Nanti dapat untung 50%.' Tidak bisa itu, tapi mungkin," kata Frida. Besar-kecilnya keuntungan investor sangat bergantung pada turun-naiknya nilai instrumen tempat reksa dana dibenamkan. Tapi soal bagaimana memainkan dana ke dalam pasar modal sepenuhnya tergantung pada manajer investasi. Investor tinggal ongkang-ongkang kaki sambil menunggu hasil.
Bagi investor tentu hal itu sangat menggoda. Investor tak perlu memelototi monitor dan menguping rumor serta menganalisis dan harus sport jantung, seperti yang terjadi pada investor saham. Investor akan semakin tergoda kalau tahu keuntungan reksa dana bukanlah objek pajak. Ini berbeda dengan deposito yang dikenai pajak 15%. Godaan lain, selain likuid dan dikelola oleh profesional, harganya relatif murah. Harga satu UP-nya Rp 1.000,- pada penawaran perdana. Setelah penawaran perdana, harga tersebut berubah sesuai dengan nilai aktiva bersih (NAB) yang merupakan nilai per-UP yang ditentukan berdasar rumus: total aktiva dikurangi total kewajiban, lalu dibagi jumlah UP yang terjual. Jadi bisa turun, bisa pula naik.
NAB itu mencerminkan nilai sebenarnya dari dana masyarakat pemodal yang ditanamkan dalam reksa dana pada satu periode, dan dihitung oleh bank kustodian untuk menjaga objektivitasnya. Hasilnya bisa dipantau pada surat kabar seperti Bisnis Indonesia atau Neraca Ekonomi.
!
A Primer on Sales Style
The beauty of sales is that many different styles can produce equally desirable results. The important part is developing a style that complements your personality.
BY JEB FOSTER
Here are the prerequisites for success in insurance sales:
Persistence
Excellent communication skills
Excellent organizational skills
Integrity
Emotional resilience
Manners
Curiosity
Problem-solving skills
Confidence
While each of these is necessary at least to some degree, many agents develop their own sales style by emphasizing specific items on the list. For example, someone with a more aggressive style will accentuate the persistence and problem-solving aspects. Those with a less aggressive, softer approach will often emphasize the curiosity piece, or will rely on their exceptional manners and integrity. Some agents focus on their ability to persuasively communicate product features and benefits.
Ray Silverstein, a writer for Entrepreneur magazine, observes that there three primary types of salespeople-"finders, minders and grinders."
Finders, he says, thrive on the pursuit of new clients. Minders are people-oriented-committed to building relationships and offering exceptional customer service. Finally, there are the grinders, who land new clients through their unrelenting tenacity and exceptional organization.
Silverstein emphasizes that each type has weaknesses and often must learn from the other two. Finders, for example, don't usually offer the best customer service. Minders may not be proactive enough. Grinders may be shortchanging themselves by exclusively focusing on, well, the grind.
The beauty of sales is that many different styles can produce equally desirable results. The important part is developing a style that complements your personality. If your sales style and your personality are in conflict, your effectiveness will suffer. The reason is, prospects will have a hard time getting a read on you-which typically translates into a lack of trust. Needless to say, trust is essential in the sales process .
Additionally, by aligning your sales style with your personality, you will project a higher degree of confidence and fluency. Many people make the mistake of affecting an extroverted demeanor, believing that that's what a true salesperson must act like. While that may work for some, in the long run it will be difficult to sustain. (And everyone can spot an act.) What's more, it's simply much easier to be your authentic self.
BY JEB FOSTER
Here are the prerequisites for success in insurance sales:
Persistence
Excellent communication skills
Excellent organizational skills
Integrity
Emotional resilience
Manners
Curiosity
Problem-solving skills
Confidence
While each of these is necessary at least to some degree, many agents develop their own sales style by emphasizing specific items on the list. For example, someone with a more aggressive style will accentuate the persistence and problem-solving aspects. Those with a less aggressive, softer approach will often emphasize the curiosity piece, or will rely on their exceptional manners and integrity. Some agents focus on their ability to persuasively communicate product features and benefits.
Ray Silverstein, a writer for Entrepreneur magazine, observes that there three primary types of salespeople-"finders, minders and grinders."
Finders, he says, thrive on the pursuit of new clients. Minders are people-oriented-committed to building relationships and offering exceptional customer service. Finally, there are the grinders, who land new clients through their unrelenting tenacity and exceptional organization.
Silverstein emphasizes that each type has weaknesses and often must learn from the other two. Finders, for example, don't usually offer the best customer service. Minders may not be proactive enough. Grinders may be shortchanging themselves by exclusively focusing on, well, the grind.
The beauty of sales is that many different styles can produce equally desirable results. The important part is developing a style that complements your personality. If your sales style and your personality are in conflict, your effectiveness will suffer. The reason is, prospects will have a hard time getting a read on you-which typically translates into a lack of trust. Needless to say, trust is essential in the sales process .
Additionally, by aligning your sales style with your personality, you will project a higher degree of confidence and fluency. Many people make the mistake of affecting an extroverted demeanor, believing that that's what a true salesperson must act like. While that may work for some, in the long run it will be difficult to sustain. (And everyone can spot an act.) What's more, it's simply much easier to be your authentic self.
Finder, Minder or Grinder: What's Your Sales Style?
By Ray Silverstein | June 27, 2007
Different salespeople have different selling styles. Certain styles and approaches succeed in various environments. Assessing your personal sales style can help you maximize your strengths and improve your performance.
You're probably familiar with the concept of "Type A" and "Type B" personalities. The same approach can help identify your sales type. Although sales personalities aren't always black and white, there are three primary sales styles.
Identify which of the following three descriptions best describes you:
Type F--You live for the thrill of the hunt. You're aggressive, competitive and impatient with paperwork. You know your production to the penny. As soon as a sale is clinched, you're looking for your next conquest. You're the classic rainmaker. You're a "Finder."
Type M--You're a people-person and a relationship builder. For you, the sale begins at the time of the close. You take pride in providing strong customer service and it shows in your high persistence ratios. You believe a bird in the hand is worth two in the bush. You're a "Minder."
Type G--You're the Energizer Bunny®, the Robocop of sales. You're relentless. While you're not flashy like Type F or warm and fuzzy like Type M, you get the job done through sheer perseverance. Rejection doesn't wear you down. Repetition doesn't bore you. You're a "Grinder."
Which sales type are you--a Finder, Minder or Grinder? Perhaps you're dominant in one style or perhaps you're a hybrid of two types.
Whatever the case, once you've identified your predominant sales style, consider how it impacts your business. A Grinder, for example, excels in environments organized around high-volume sales calls. Does your style work for you or against you? Are you where you should be?
Knowing your sales style lets you find your strengths. For example, if you're a Finder, you can acknowledge that service is not your strength. Your gift is acquiring new customers, not maintaining current ones, so make sure someone else has that responsibility. Perhaps it's time to hire a part-time rep to handle phones and paperwork, freeing you up to do what you do best.
If you're a Minder, guard against spending too much time on service. Analyze your time and see how you're spending it. Do you need to get out of the office and sell more actively? Make sure you're leveraging customer relationships into cross-selling opportunities. Let all those satisfied customers know what else you have to offer.
As for you Grinders, are you positioned to make the most of your talents? Is your industry about playing the percentages, or do you need to develop some Finder or Minder-type skills to be more successful?
You can also use these sales types to assess your organization. Most teams function best when its members' strengths complement each other. If you only hire people cast in your own image, your workflow may be getting short-shifted.
On the other hand, when hiring a new sales person, it may make excellent sense to hire your very own Austin Powers-style "Mini-Me." Because if you're successful at what you do, you already have proof that your sales style works in your world.
Don't think of this as a self-indulgent exercise. Business is tough. Knowledge is power. Every new piece of information gives you a potential edge. In the words of Socrates, "Know thyself."
Copyright © 2008 Entrepreneur.com, Inc. All rights reserved. Privacy Policy
Different salespeople have different selling styles. Certain styles and approaches succeed in various environments. Assessing your personal sales style can help you maximize your strengths and improve your performance.
You're probably familiar with the concept of "Type A" and "Type B" personalities. The same approach can help identify your sales type. Although sales personalities aren't always black and white, there are three primary sales styles.
Identify which of the following three descriptions best describes you:
Type F--You live for the thrill of the hunt. You're aggressive, competitive and impatient with paperwork. You know your production to the penny. As soon as a sale is clinched, you're looking for your next conquest. You're the classic rainmaker. You're a "Finder."
Type M--You're a people-person and a relationship builder. For you, the sale begins at the time of the close. You take pride in providing strong customer service and it shows in your high persistence ratios. You believe a bird in the hand is worth two in the bush. You're a "Minder."
Type G--You're the Energizer Bunny®, the Robocop of sales. You're relentless. While you're not flashy like Type F or warm and fuzzy like Type M, you get the job done through sheer perseverance. Rejection doesn't wear you down. Repetition doesn't bore you. You're a "Grinder."
Which sales type are you--a Finder, Minder or Grinder? Perhaps you're dominant in one style or perhaps you're a hybrid of two types.
Whatever the case, once you've identified your predominant sales style, consider how it impacts your business. A Grinder, for example, excels in environments organized around high-volume sales calls. Does your style work for you or against you? Are you where you should be?
Knowing your sales style lets you find your strengths. For example, if you're a Finder, you can acknowledge that service is not your strength. Your gift is acquiring new customers, not maintaining current ones, so make sure someone else has that responsibility. Perhaps it's time to hire a part-time rep to handle phones and paperwork, freeing you up to do what you do best.
If you're a Minder, guard against spending too much time on service. Analyze your time and see how you're spending it. Do you need to get out of the office and sell more actively? Make sure you're leveraging customer relationships into cross-selling opportunities. Let all those satisfied customers know what else you have to offer.
As for you Grinders, are you positioned to make the most of your talents? Is your industry about playing the percentages, or do you need to develop some Finder or Minder-type skills to be more successful?
You can also use these sales types to assess your organization. Most teams function best when its members' strengths complement each other. If you only hire people cast in your own image, your workflow may be getting short-shifted.
On the other hand, when hiring a new sales person, it may make excellent sense to hire your very own Austin Powers-style "Mini-Me." Because if you're successful at what you do, you already have proof that your sales style works in your world.
Don't think of this as a self-indulgent exercise. Business is tough. Knowledge is power. Every new piece of information gives you a potential edge. In the words of Socrates, "Know thyself."
Copyright © 2008 Entrepreneur.com, Inc. All rights reserved. Privacy Policy
10 Prospecting Tips for Winners
As an insurance professional, you know how difficult prospecting can be. Finding qualified prospects and convincing them to buy your products is often time-consuming and unproductive.
If you'd like to make the most of time spent prospecting-and sell more than ever before-take these 10 tips from a leading author and sales consultant to heart. You'll notice the difference in no time!
Set aside one hour a day for prospecting. Discipline yourself to make this time nonnegotiable, and treat it as a priority.
Make as many calls as possible. The more calls you make, the better your chances of converting those prospects to clients.
Make calls brief. Don't try to sell the client over the phone. Your goal should be to get the appointment…and concentrate on closing the sale there.
Prepare a list of names before you call. This allows you to devote your time to making calls-not searching for names. Trade prospect names with other professionals, and keep a one-month supply on hand at all times to make the process easier.
Don't tolerate interruptions. Refuse to take calls or attend meetings during your prospecting time. As with any other activity, the more you repeat this task during a contiguous block of time, the better you'll become.
If you find conventional prospecting times don't work, consider calling during off-peak hours. Find out when your prospects are available, and call them at the appropriate times. Don't waste your time when you know they aren't on hand.
Vary your contacting times. This increases your chances of reaching buyers.
Get organized. Make detailed notes and store them in a computerized prospect contact system. Update them frequently, scheduling and keeping track of follow-up times and contact information.
Picture your prospecting goal, and develop a plan to reach it. Knowing where you're going and how far you've moved toward your goal helps you stay motivated.
Don't give up. Persistence is the key to true selling success. Prospects will see your determination and admire your perseverance-and you'll get appointments.
Finding new customers doesn't have to be complicated. Try these 10 simple tips, write your own winning success story…and watch your sales and client base soar!
This information was provided by InsureMe, the leader in online insurance leads for the insurance industry. Since 1993, InsureMe has helped thousands of insurance agents succeed in the insurance business by providing top-quality leads that are both detailed and affordable. For more information on InsureMe leads, please visit our agent Web site at agent.insureme.com.
If you'd like to make the most of time spent prospecting-and sell more than ever before-take these 10 tips from a leading author and sales consultant to heart. You'll notice the difference in no time!
Set aside one hour a day for prospecting. Discipline yourself to make this time nonnegotiable, and treat it as a priority.
Make as many calls as possible. The more calls you make, the better your chances of converting those prospects to clients.
Make calls brief. Don't try to sell the client over the phone. Your goal should be to get the appointment…and concentrate on closing the sale there.
Prepare a list of names before you call. This allows you to devote your time to making calls-not searching for names. Trade prospect names with other professionals, and keep a one-month supply on hand at all times to make the process easier.
Don't tolerate interruptions. Refuse to take calls or attend meetings during your prospecting time. As with any other activity, the more you repeat this task during a contiguous block of time, the better you'll become.
If you find conventional prospecting times don't work, consider calling during off-peak hours. Find out when your prospects are available, and call them at the appropriate times. Don't waste your time when you know they aren't on hand.
Vary your contacting times. This increases your chances of reaching buyers.
Get organized. Make detailed notes and store them in a computerized prospect contact system. Update them frequently, scheduling and keeping track of follow-up times and contact information.
Picture your prospecting goal, and develop a plan to reach it. Knowing where you're going and how far you've moved toward your goal helps you stay motivated.
Don't give up. Persistence is the key to true selling success. Prospects will see your determination and admire your perseverance-and you'll get appointments.
Finding new customers doesn't have to be complicated. Try these 10 simple tips, write your own winning success story…and watch your sales and client base soar!
This information was provided by InsureMe, the leader in online insurance leads for the insurance industry. Since 1993, InsureMe has helped thousands of insurance agents succeed in the insurance business by providing top-quality leads that are both detailed and affordable. For more information on InsureMe leads, please visit our agent Web site at agent.insureme.com.
Successful Closing Tips: How to Complete Your Lead
Successful Closing Tips: How to Complete Your Lead
You've received an insurance lead, established contact with the prospect and informed them of how your services can meet their needs. But how do you complete the sale?
At InsureMe, we know even the best leads are no good if you can't use them to expand your business! That's why we've put together some tips to close your sale—and turn the referral into a client.
Lay the Foundation
As an insurance professional, you understand that it's your job to determine the customer's needs and help them understand how your services can more than meet those needs—creating a foundation on which to build a business relationship.
A good sales foundation should:
Establish rapport and trust with the prospect
Result in an understanding of the prospect's problems, needs and values
Address how your services can meet the prospect's needs
Get the prospect's attention
It's important to understand that without a strong sales foundation, you won't stand a chance of closing the sale. For more tips on how to sell your leads, check out our article, How Great Agents Work Insurance Leads.
Focus on the Prospect
While some insurance professionals rely on textbook closing techniques, the majority of successful agents close sales by focusing all their efforts on the prospect and how their services can fulfill the customer's needs.
By focusing on the prospect, you give them the sense that you're committed to helping them, which inspires confidence and trust—drastically increasing the likelihood that the consumer will buy a policy from you.
Need help staying focused? Below are six tips to help you:
Relax! Even if you desperately need the sale, keep your emotions in check—your anxiety will be evident to the prospect.
Learn something personal. Connecting with the prospect on a purely human level will allow them to see you as a person, rather than a sales agent.
Call the prospect(s) by name. Calling your prospect by name will help foster a relationship—a key factor in closing a sale.
Look the customer in the eye. Giving the prospect your undivided attention will build trust and confidence.
Address the prospect's needs. Once you've learned your customer's needs and motivations, tell them how your services can help—and refer back to them often.
Listen. Through even the simplest of discussions, people often reveal their needs, motivations and desires. Listen, and adjust your selling techniques accordingly.
Employ these tips to stay focused on your prospect. Doing so will make it clear to the consumer that you have their very best interests at heart—increasing the chance that they'll sign on as a new client.
Trial Closing
Many insurance professionals also find success with trial closing. Trial closing involves asking your prospect questions to reveal how he or she feels about the information discussed. By asking trial closing questions, you can gauge your prospect's opinions and get an idea of where the prospect is in the buying process.
Your trial closing questions might include:
"How do you feel about the information we've discussed?"
"Do you see how our services can meet your financial needs?"
"What questions or concerns do you have?"
"Do you need more information about the policy or financial services?"
Try integrating these, and other closing questions into your sales presentation. If you are met with resistance after your trial closing, remember to readdress your prospects questions and concerns and reiterate how your services can meet them—before bringing out the heavy-hitting closing tactics.
Closing the Sale
So you've set a solid sales foundation, built a trusting, casual rapport with your prospect and received some positive feedback from your trial closing questions—and yet the prospect is still on the fence. How can you still make the sale?
Establish a deadline. Some experienced agents suggest determining a deadline date, by which an offer will expire. And, while you run the risk of losing the prospect, establishing a deadline will help you distinguish legitimate prospects from those who might keep you on perpetual hold.
Know what your competitors offer. Keeping track the competition will enable you to keep up with your adversaries and speak intelligently about why your service is better or more affordable.
Discuss the consequences of sitting on the fence. Ask your customer to estimate what it would cost not to buy a policy from you today. This could be anything from the cost of an uninsured accident to spending hundreds more with another agency. This too must be done tactfully, without bullying the prospect.
Remember that getting a decision out of the customer—one way or the other—is good for your business. If you don't end up closing the lead, keep in mind that this leaves you open to pursue all the other prospects coming your way.
And, like most skills, when it comes to closing your insurance leads, practice makes perfect. Try integrating these techniques into your sales repertoire until you find what works best for you—and watch as the sales pile up.
This information was provided by InsureMe, the leader in online insurance leads for the insurance industry. Since 1993, InsureMe has helped thousands of insurance agents succeed in the insurance business by providing top quality leads that are both detailed and affordable. For more information on InsureMe leads, please visit our agent Web site at agent.insureme.com
You've received an insurance lead, established contact with the prospect and informed them of how your services can meet their needs. But how do you complete the sale?
At InsureMe, we know even the best leads are no good if you can't use them to expand your business! That's why we've put together some tips to close your sale—and turn the referral into a client.
Lay the Foundation
As an insurance professional, you understand that it's your job to determine the customer's needs and help them understand how your services can more than meet those needs—creating a foundation on which to build a business relationship.
A good sales foundation should:
Establish rapport and trust with the prospect
Result in an understanding of the prospect's problems, needs and values
Address how your services can meet the prospect's needs
Get the prospect's attention
It's important to understand that without a strong sales foundation, you won't stand a chance of closing the sale. For more tips on how to sell your leads, check out our article, How Great Agents Work Insurance Leads.
Focus on the Prospect
While some insurance professionals rely on textbook closing techniques, the majority of successful agents close sales by focusing all their efforts on the prospect and how their services can fulfill the customer's needs.
By focusing on the prospect, you give them the sense that you're committed to helping them, which inspires confidence and trust—drastically increasing the likelihood that the consumer will buy a policy from you.
Need help staying focused? Below are six tips to help you:
Relax! Even if you desperately need the sale, keep your emotions in check—your anxiety will be evident to the prospect.
Learn something personal. Connecting with the prospect on a purely human level will allow them to see you as a person, rather than a sales agent.
Call the prospect(s) by name. Calling your prospect by name will help foster a relationship—a key factor in closing a sale.
Look the customer in the eye. Giving the prospect your undivided attention will build trust and confidence.
Address the prospect's needs. Once you've learned your customer's needs and motivations, tell them how your services can help—and refer back to them often.
Listen. Through even the simplest of discussions, people often reveal their needs, motivations and desires. Listen, and adjust your selling techniques accordingly.
Employ these tips to stay focused on your prospect. Doing so will make it clear to the consumer that you have their very best interests at heart—increasing the chance that they'll sign on as a new client.
Trial Closing
Many insurance professionals also find success with trial closing. Trial closing involves asking your prospect questions to reveal how he or she feels about the information discussed. By asking trial closing questions, you can gauge your prospect's opinions and get an idea of where the prospect is in the buying process.
Your trial closing questions might include:
"How do you feel about the information we've discussed?"
"Do you see how our services can meet your financial needs?"
"What questions or concerns do you have?"
"Do you need more information about the policy or financial services?"
Try integrating these, and other closing questions into your sales presentation. If you are met with resistance after your trial closing, remember to readdress your prospects questions and concerns and reiterate how your services can meet them—before bringing out the heavy-hitting closing tactics.
Closing the Sale
So you've set a solid sales foundation, built a trusting, casual rapport with your prospect and received some positive feedback from your trial closing questions—and yet the prospect is still on the fence. How can you still make the sale?
Establish a deadline. Some experienced agents suggest determining a deadline date, by which an offer will expire. And, while you run the risk of losing the prospect, establishing a deadline will help you distinguish legitimate prospects from those who might keep you on perpetual hold.
Know what your competitors offer. Keeping track the competition will enable you to keep up with your adversaries and speak intelligently about why your service is better or more affordable.
Discuss the consequences of sitting on the fence. Ask your customer to estimate what it would cost not to buy a policy from you today. This could be anything from the cost of an uninsured accident to spending hundreds more with another agency. This too must be done tactfully, without bullying the prospect.
Remember that getting a decision out of the customer—one way or the other—is good for your business. If you don't end up closing the lead, keep in mind that this leaves you open to pursue all the other prospects coming your way.
And, like most skills, when it comes to closing your insurance leads, practice makes perfect. Try integrating these techniques into your sales repertoire until you find what works best for you—and watch as the sales pile up.
This information was provided by InsureMe, the leader in online insurance leads for the insurance industry. Since 1993, InsureMe has helped thousands of insurance agents succeed in the insurance business by providing top quality leads that are both detailed and affordable. For more information on InsureMe leads, please visit our agent Web site at agent.insureme.com
Asking for Referrals: Your How-to Guide
Does asking for referrals make your palms sweat and your heart race? If the answer is yes, you're not alone—many insurance agents are nervous about asking for referrals out of fear that they'll damage relationships with existing clients.
But ultimately, agents who do not cross the referral threshold are depriving themselves of new business. According to a recent survey by marketing consultation firm Strategic Impact, almost 80 percent of respondents (consisting of investment and insurance professionals) relied on referrals as their primary source of generating new business.
To help you get a firm handle on asking for referrals, we at InsureMe have compiled some tips from the pros who know how to ask for referrals—and expand their clientele!
Tune Into the Client's Communication Style
Understanding your client's communication style can help you recognize their openness to your goal of cultivating new business through referrals.
If the client is generally soft-spoken or hesitant regarding business transactions, just be honest. You might start by telling them that referrals are very important to the growth of your business and you would like to develop it with people like them. Remind the client of the benefits of your services and ask if they can think of anyone who would be interested in receiving the same benefits as they do.
Confirm Your Value
If you truly can't gauge your client's style of communication, confirm the value in you and your work by asking the client how they think you're doing when it comes to maintaining a healthy business relationship.
If your client answers enthusiastically or positively in any way, proceed asking—as above—if they know anyone who could benefit from your services. If your client answers indifferently or negatively, proceed with caution or hold off all together and try this tactic with them later down the line.
Make the Most of Meetings
Any time you have personal contact with your client is a great time to ask for referrals. Once you've gone over any updates or changes in your client's policy, simply reiterate the successes and highlights of your business relationship and ask them if they have friends or family who could benefit from your services. Take down names and contact information and get selling!
Practice on Low-Risk Clients
Asking for referrals takes confidence and enthusiasm—and that takes practice. Get that practice with clients that won't drastically impact your business if the relationship is adversely affected. Once you've acquired a few referrals and achieved a considerable level of confidence, move your way up to "medium-risk" clients and get a few more referrals before tackling your heavy-hitters.
Give Thanks
It's important to consistently thank your clients for their business. Sending appreciatory emails, cards and gift certificates are some ideas for thanking your clients. Making your existing clients feel that they are your top priority will increase their chances of promoting your services to friends and family.
It's also appropriate to thank clients who've given you referrals. Some agents like to send a gift; others just send a note of gratitude. Some agents wait to see if the referral develops into a new client and send a larger gift of thanks. While the gesture is up to you, do thank your existing clients and let them know how much you value their referrals.
Start Receiving Personal Referrals Today!
While there are various tactics to employ for successfully acquiring referrals, it's ultimately up to you to find which methods work best for you. Don't let another referral slip away—use the tips above to obtain more referrals and turn them into new clients!
This information was provided by InsureMe, the leader in online insurance leads for the insurance industry. Since 1993, InsureMe has helped thousands of insurance agents succeed in the insurance business by providing top quality leads that are both detailed and affordable. For more information on InsureMe leads, please visit our agent Web site at agent.insureme.com
But ultimately, agents who do not cross the referral threshold are depriving themselves of new business. According to a recent survey by marketing consultation firm Strategic Impact, almost 80 percent of respondents (consisting of investment and insurance professionals) relied on referrals as their primary source of generating new business.
To help you get a firm handle on asking for referrals, we at InsureMe have compiled some tips from the pros who know how to ask for referrals—and expand their clientele!
Tune Into the Client's Communication Style
Understanding your client's communication style can help you recognize their openness to your goal of cultivating new business through referrals.
If the client is generally soft-spoken or hesitant regarding business transactions, just be honest. You might start by telling them that referrals are very important to the growth of your business and you would like to develop it with people like them. Remind the client of the benefits of your services and ask if they can think of anyone who would be interested in receiving the same benefits as they do.
Confirm Your Value
If you truly can't gauge your client's style of communication, confirm the value in you and your work by asking the client how they think you're doing when it comes to maintaining a healthy business relationship.
If your client answers enthusiastically or positively in any way, proceed asking—as above—if they know anyone who could benefit from your services. If your client answers indifferently or negatively, proceed with caution or hold off all together and try this tactic with them later down the line.
Make the Most of Meetings
Any time you have personal contact with your client is a great time to ask for referrals. Once you've gone over any updates or changes in your client's policy, simply reiterate the successes and highlights of your business relationship and ask them if they have friends or family who could benefit from your services. Take down names and contact information and get selling!
Practice on Low-Risk Clients
Asking for referrals takes confidence and enthusiasm—and that takes practice. Get that practice with clients that won't drastically impact your business if the relationship is adversely affected. Once you've acquired a few referrals and achieved a considerable level of confidence, move your way up to "medium-risk" clients and get a few more referrals before tackling your heavy-hitters.
Give Thanks
It's important to consistently thank your clients for their business. Sending appreciatory emails, cards and gift certificates are some ideas for thanking your clients. Making your existing clients feel that they are your top priority will increase their chances of promoting your services to friends and family.
It's also appropriate to thank clients who've given you referrals. Some agents like to send a gift; others just send a note of gratitude. Some agents wait to see if the referral develops into a new client and send a larger gift of thanks. While the gesture is up to you, do thank your existing clients and let them know how much you value their referrals.
Start Receiving Personal Referrals Today!
While there are various tactics to employ for successfully acquiring referrals, it's ultimately up to you to find which methods work best for you. Don't let another referral slip away—use the tips above to obtain more referrals and turn them into new clients!
This information was provided by InsureMe, the leader in online insurance leads for the insurance industry. Since 1993, InsureMe has helped thousands of insurance agents succeed in the insurance business by providing top quality leads that are both detailed and affordable. For more information on InsureMe leads, please visit our agent Web site at agent.insureme.com
5 Mistakes to Avoid with Clients
There is more to being a successful Insurance Agent or Financial Representative than making the lion's share of sales. As many top producers will tell you, residuals from investments and being able to cross-sell additional products to loyal clients year after year, is the way that many make it to conference and enjoy long fruitful careers. Having strong customer service skills is one of the most important attributes to achieving this success; especially with today's fast-paced, impersonal auto-respond mentality. Though there are countless ways to be good at customer service, there are only a few ways to destroy the relationship you are trying to build:
1. The need to win - Especially in the Insurance arena, clients have many options and choices. And competing companies can make very enticing propositions to take your valued clients. Nothing will push a client away quicker than arguing with them. Sometimes, a potential client has it in their head what they want and how much they think they need. You can show them all the tools you want proving to them they are wrong and that they need more or less. Sometimes, all you can do is advice and then ultimately provide the services they ask for.
2. Lack of product knowledge - It is OK to not know everything. Some of the most successful people don't know a little bit about everything, but instead know everything about a few things. The difference between this hurting you and making you successful is by not trying to BS your way through a demonstration on a product you don't know anything or enough about. If a client has questions about something you are not fully knowledgeable about, it is OK to tell them so, and that you will find out the answer for them, or even involve a co-worker who is a specialist with that particular service. This will only strengthen your agent/client relationship as they will see you as actually have their best interest at heart.
3. Not listening - Communication involves a two-way conversation. Listen to what your client has to say in its entirety. When they are finished, say, “Let me make sure I understand what you are saying……” and repeat what they have just said in your own words so that they know you understand. If you have confusion in an area, then ask them to elaborate. How many times have you asked a question and have given an answer that had nothing to do with your concern? Did you ever do business with that person again? Probably not.
4. Being impersonal - We are all guilty of it. When someone sends in a complaint or leaves a dissatisfied message, it is much easier to send them an email rather than calling them and addressing it personally. Sometimes it works, but other times it simply makes your client feel as though they are not important enough to warrant a phone call and the opportunity to speak with you directly. Treat the client how you would want to be treated, give them the courtesy of a phone call. After all, if you don't, then they could decide not to call you when they decide to transfer their business to another agency.
5. Don't over-promise - Today's Insurance products and services can satisfy many needs with just one policy. They are flexible, they provide various types of cash and death benefits, and there are many different funding options to choose from. However, be sure that you don't get so excited with the features and benefits that you lose track of the product's primary focus. If you show people an unrealistic cash return and then show them ways a life insurance policy can send their kids to college and still provide $1 trillion in cash benefit, you aren't providing them with realistic expectations, and this will only set you up, not only to fail, but for a potential lawsuit later on. Be realistic, and show your products and services for what they are and what they can legitimately be used for.
It is easy to get caught up in our day-to-day lives and forget some of the basics our parents taught us with regards to treating others how we would like to be treated. To be truly successful in this industry, you need to do more than just sell, you need to be an excellent communicator and have effective customer service skills. Not only will you see your residual income and cross-selling opportunities increase, but you will also see more referral business as people will feel safe and secure sending their friends and family members to you.
1. The need to win - Especially in the Insurance arena, clients have many options and choices. And competing companies can make very enticing propositions to take your valued clients. Nothing will push a client away quicker than arguing with them. Sometimes, a potential client has it in their head what they want and how much they think they need. You can show them all the tools you want proving to them they are wrong and that they need more or less. Sometimes, all you can do is advice and then ultimately provide the services they ask for.
2. Lack of product knowledge - It is OK to not know everything. Some of the most successful people don't know a little bit about everything, but instead know everything about a few things. The difference between this hurting you and making you successful is by not trying to BS your way through a demonstration on a product you don't know anything or enough about. If a client has questions about something you are not fully knowledgeable about, it is OK to tell them so, and that you will find out the answer for them, or even involve a co-worker who is a specialist with that particular service. This will only strengthen your agent/client relationship as they will see you as actually have their best interest at heart.
3. Not listening - Communication involves a two-way conversation. Listen to what your client has to say in its entirety. When they are finished, say, “Let me make sure I understand what you are saying……” and repeat what they have just said in your own words so that they know you understand. If you have confusion in an area, then ask them to elaborate. How many times have you asked a question and have given an answer that had nothing to do with your concern? Did you ever do business with that person again? Probably not.
4. Being impersonal - We are all guilty of it. When someone sends in a complaint or leaves a dissatisfied message, it is much easier to send them an email rather than calling them and addressing it personally. Sometimes it works, but other times it simply makes your client feel as though they are not important enough to warrant a phone call and the opportunity to speak with you directly. Treat the client how you would want to be treated, give them the courtesy of a phone call. After all, if you don't, then they could decide not to call you when they decide to transfer their business to another agency.
5. Don't over-promise - Today's Insurance products and services can satisfy many needs with just one policy. They are flexible, they provide various types of cash and death benefits, and there are many different funding options to choose from. However, be sure that you don't get so excited with the features and benefits that you lose track of the product's primary focus. If you show people an unrealistic cash return and then show them ways a life insurance policy can send their kids to college and still provide $1 trillion in cash benefit, you aren't providing them with realistic expectations, and this will only set you up, not only to fail, but for a potential lawsuit later on. Be realistic, and show your products and services for what they are and what they can legitimately be used for.
It is easy to get caught up in our day-to-day lives and forget some of the basics our parents taught us with regards to treating others how we would like to be treated. To be truly successful in this industry, you need to do more than just sell, you need to be an excellent communicator and have effective customer service skills. Not only will you see your residual income and cross-selling opportunities increase, but you will also see more referral business as people will feel safe and secure sending their friends and family members to you.
agen asuransi: kerja dengan Total
Kamis, 22 Mei 2008 | 03:00 WIB
Suatu hari pada tahun 2006 Lanny Sugiharta, Senior Unit Manager Agency Prudential Indonesia yang sukses, menerima telepon dari salah seorang nasabahnya yang terkapar di rumah sakit. Nasabahnya meminta bantuan dirinya mencairkan klaim asuransi untuk biaya rumah sakit. Tanpa pikir panjang, Lanny dengan sepenuh hati melayani permintaan nasabahnya, mulai dari mengantarkan sendiri dokumen klaim, mencairkan, hingga membereskan urusan dengan rumah sakit. Padahal, semestinya ia bisa menyuruh sekretarisnya untuk melakukan semua itu.
Di lain waktu Lanny tak kuasa menahan haru ketika mengantarkan nasabahnya, seorang ibu muda yang menggendong anaknya yang masih kecil, mengambil klaim kematian suaminya. Dadanya makin sesak ketika nasabahnya mengatakan uang klaim tersebut akan digunakan untuk membuka usaha guna menyambung hidup dan membiayai sekolah anak.
”Agen asuransi adalah pekerjaan yang mulia. Jika kita melengkapi profesi yang mulia itu dengan bekerja total dan menggunakan hati, hidup akan jadi lebih berarti. Pendapatan yang berlimpah dengan sendirinya akan mengikuti,” kata ibu dua anak itu.
Jenjang karier
Hanya dalam empat tahun—Lanny menjadi agen asuransi sejak tahun 2004—ia kini telah mencapai puncak jenjang karier agen, yakni senior agency manager. Ia sungkan membocorkan berapa pendapatannya. Ia hanya mengatakan, tidak lagi memiliki beban finansial. Ia telah menjamin seluruh biaya pendidikan anak-anaknya sampai kuliah, biaya kesehatan seluruh keluarga, bahkan pensiun di hari tua. Kehidupannya kini bagai bumi dan langit dibandingkan saat dirinya belum menjadi agen.
Dengan menjadi agen asuransi, katanya, seseorang bisa berubah dari zero jadi hero, dari nothing menjadi something, dan dari diremehkan menjadi dihargai.
Di tangannya, pekerjaan agen yang kerap dibilang susah oleh banyak orang menjadi serba mudah. ”Siapa bilang menjadi agen asuransi sukses itu sulit. Saya saja hanya butuh empat tahun untuk sukses, mana ada profesi lain yang bisa seperti ini,” tandasnya.
Kuncinya, kata Lanny, hanyalah totalitas, sepenuh hati, serta teguh pada pendirian dan impian. Soal teknis dan kepintaran bukanlah nomor satu. ”Teknis bagaimana menjadi agen yang baik tinggal mengikuti apa-apa yang telah digariskan perusahaan asuransi. Saya tidak mencoba teknik-teknik lain dalam memasarkan asuransi, saya mengikuti aturan yang telah digariskan Prudential 100 persen,” ujarnya membeberkan kiat suksesnya.
Bermula sebagai nasabah Prudential pada tahun 2001, Lanny akhirnya tertarik menjadi agen pada tahun 2004. Dia jatuh cinta pada profesi agen asuransi karena pekerjaannya yang mulia dan penuh pelayanan. Selain itu, ia juga bisa membantu banyak orang merencanakan keuangan untuk menuju masa depan yang sejahtera. Ia juga percaya sistem asuransi itu banyak manfaatnya, terbukti ketika menjadi nasabah, Lanny sangat terbantu ketika keluarganya terkena musibah.
Lanny pun melangkah dengan mantap memasuki dunia agen asuransi. Tak tanggung-tanggung, pekerjaan lamanya sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan swasta langsung dilepasnya. ”Saya harus bisa melayani nasabah setiap saat. Jika saya tetap bekerja sebagai karyawan, lalu tiba-tiba nasabah meminta bantuan ketika saya masih di kantor, tentu akan sulit memenuhi permintaan nasabah. Nasabah akhirnya merasa tidak aman seolah ditinggalkan,” katanya.
Pada masa awal menjadi agen bagaimanapun tetap ada tantangan yang menghadang, apalagi dia mulai dari nol. Jika sebelumnya selalu bepergian menggunakan mobil kantor, kini ia terpaksa harus naik bis kota atau ojek.
Pendapatan yang diterimanya juga tiba-tiba anjlok. Gaji manajer pemasaran yang sebelumnya rutin diterima setiap bulan tiba-tiba hilang, sementara pendapatan sebagai agen asuransi pemula belumlah seberapa.
Pernah suatu kali tebersit niatan untuk kembali menjadi karyawan. Namun, pikiran tersebut buru-buru ditepisnya. Ia ingat impiannya untuk meningkatkan martabat keluarga dan membuat bangga orangtuanya.
”Akhirnya saya coba tetap fokus, pantang menyerah, bekerja giat, bekerja dengan hati dengan motivasi melayani nasabah. Hasilnya, dalam waktu lima bulan sejak jadi agen, pendapatan saya kembali normal. Pada bulan-bulan berikutnya pendapatan saya terus meningkat,” katanya.
Totalitas
Totalitasnya pada masa awal menjadi agen asuransi juga tecermin dari cara ia memasuki dunia asuransi. Tak seperti agen-agen lain yang mencoba langsung menjual produk meskipun pengetahuannya masih belum seberapa. Lanny betul-betul mempersiapkan diri sebelum betul-betul terjun sebagai agen. Ia lahap semua pelatihan yang diberikan Prudential. Bahkan ia tak segan-segan mendatangi rumah leader-nya untuk mendapat tambahan pengajaran.
Jerih payahnya sebagai agen terus berbuah manis. Berbagai penghargaan sebagai agen ia sabet. Ia juga menjadi anggota million dollar round table (MDRT) atau pertemuan agen-agen asuransi top sedunia.
Impiannya kini melihat masyarakat Indonesia lebih sejahtera melalui perencanaan keuangan. Lainnya melihat profesi agen menjadi betul-betul dihargai dan diminati orang. (FAJ)
Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/05/22/01413773/kerja.total.dengan.hati
Suatu hari pada tahun 2006 Lanny Sugiharta, Senior Unit Manager Agency Prudential Indonesia yang sukses, menerima telepon dari salah seorang nasabahnya yang terkapar di rumah sakit. Nasabahnya meminta bantuan dirinya mencairkan klaim asuransi untuk biaya rumah sakit. Tanpa pikir panjang, Lanny dengan sepenuh hati melayani permintaan nasabahnya, mulai dari mengantarkan sendiri dokumen klaim, mencairkan, hingga membereskan urusan dengan rumah sakit. Padahal, semestinya ia bisa menyuruh sekretarisnya untuk melakukan semua itu.
Di lain waktu Lanny tak kuasa menahan haru ketika mengantarkan nasabahnya, seorang ibu muda yang menggendong anaknya yang masih kecil, mengambil klaim kematian suaminya. Dadanya makin sesak ketika nasabahnya mengatakan uang klaim tersebut akan digunakan untuk membuka usaha guna menyambung hidup dan membiayai sekolah anak.
”Agen asuransi adalah pekerjaan yang mulia. Jika kita melengkapi profesi yang mulia itu dengan bekerja total dan menggunakan hati, hidup akan jadi lebih berarti. Pendapatan yang berlimpah dengan sendirinya akan mengikuti,” kata ibu dua anak itu.
Jenjang karier
Hanya dalam empat tahun—Lanny menjadi agen asuransi sejak tahun 2004—ia kini telah mencapai puncak jenjang karier agen, yakni senior agency manager. Ia sungkan membocorkan berapa pendapatannya. Ia hanya mengatakan, tidak lagi memiliki beban finansial. Ia telah menjamin seluruh biaya pendidikan anak-anaknya sampai kuliah, biaya kesehatan seluruh keluarga, bahkan pensiun di hari tua. Kehidupannya kini bagai bumi dan langit dibandingkan saat dirinya belum menjadi agen.
Dengan menjadi agen asuransi, katanya, seseorang bisa berubah dari zero jadi hero, dari nothing menjadi something, dan dari diremehkan menjadi dihargai.
Di tangannya, pekerjaan agen yang kerap dibilang susah oleh banyak orang menjadi serba mudah. ”Siapa bilang menjadi agen asuransi sukses itu sulit. Saya saja hanya butuh empat tahun untuk sukses, mana ada profesi lain yang bisa seperti ini,” tandasnya.
Kuncinya, kata Lanny, hanyalah totalitas, sepenuh hati, serta teguh pada pendirian dan impian. Soal teknis dan kepintaran bukanlah nomor satu. ”Teknis bagaimana menjadi agen yang baik tinggal mengikuti apa-apa yang telah digariskan perusahaan asuransi. Saya tidak mencoba teknik-teknik lain dalam memasarkan asuransi, saya mengikuti aturan yang telah digariskan Prudential 100 persen,” ujarnya membeberkan kiat suksesnya.
Bermula sebagai nasabah Prudential pada tahun 2001, Lanny akhirnya tertarik menjadi agen pada tahun 2004. Dia jatuh cinta pada profesi agen asuransi karena pekerjaannya yang mulia dan penuh pelayanan. Selain itu, ia juga bisa membantu banyak orang merencanakan keuangan untuk menuju masa depan yang sejahtera. Ia juga percaya sistem asuransi itu banyak manfaatnya, terbukti ketika menjadi nasabah, Lanny sangat terbantu ketika keluarganya terkena musibah.
Lanny pun melangkah dengan mantap memasuki dunia agen asuransi. Tak tanggung-tanggung, pekerjaan lamanya sebagai manajer pemasaran di sebuah perusahaan swasta langsung dilepasnya. ”Saya harus bisa melayani nasabah setiap saat. Jika saya tetap bekerja sebagai karyawan, lalu tiba-tiba nasabah meminta bantuan ketika saya masih di kantor, tentu akan sulit memenuhi permintaan nasabah. Nasabah akhirnya merasa tidak aman seolah ditinggalkan,” katanya.
Pada masa awal menjadi agen bagaimanapun tetap ada tantangan yang menghadang, apalagi dia mulai dari nol. Jika sebelumnya selalu bepergian menggunakan mobil kantor, kini ia terpaksa harus naik bis kota atau ojek.
Pendapatan yang diterimanya juga tiba-tiba anjlok. Gaji manajer pemasaran yang sebelumnya rutin diterima setiap bulan tiba-tiba hilang, sementara pendapatan sebagai agen asuransi pemula belumlah seberapa.
Pernah suatu kali tebersit niatan untuk kembali menjadi karyawan. Namun, pikiran tersebut buru-buru ditepisnya. Ia ingat impiannya untuk meningkatkan martabat keluarga dan membuat bangga orangtuanya.
”Akhirnya saya coba tetap fokus, pantang menyerah, bekerja giat, bekerja dengan hati dengan motivasi melayani nasabah. Hasilnya, dalam waktu lima bulan sejak jadi agen, pendapatan saya kembali normal. Pada bulan-bulan berikutnya pendapatan saya terus meningkat,” katanya.
Totalitas
Totalitasnya pada masa awal menjadi agen asuransi juga tecermin dari cara ia memasuki dunia asuransi. Tak seperti agen-agen lain yang mencoba langsung menjual produk meskipun pengetahuannya masih belum seberapa. Lanny betul-betul mempersiapkan diri sebelum betul-betul terjun sebagai agen. Ia lahap semua pelatihan yang diberikan Prudential. Bahkan ia tak segan-segan mendatangi rumah leader-nya untuk mendapat tambahan pengajaran.
Jerih payahnya sebagai agen terus berbuah manis. Berbagai penghargaan sebagai agen ia sabet. Ia juga menjadi anggota million dollar round table (MDRT) atau pertemuan agen-agen asuransi top sedunia.
Impiannya kini melihat masyarakat Indonesia lebih sejahtera melalui perencanaan keuangan. Lainnya melihat profesi agen menjadi betul-betul dihargai dan diminati orang. (FAJ)
Dapatkan artikel ini di URL:
http://entertainment.kompas.com/read/xml/2008/05/22/01413773/kerja.total.dengan.hati
KBRI Pun Meningkatkan Perlindungan bagi TKI
Maraknya pemberitaan negatif media massa Malaysia mengenai buruh migran atau tenaga kerja Indonesia di Malaysia serta perlakuan buruk majikan kepada TKI membuat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur gerah. KBRI pun mencoba memantapkan cakarnya sebagai perwakilan negara untuk mengayomi dan melindungi warga negara di negeri jiran tersebut.
Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Kuala Lumpur Tatang Budi Utama Razak dalam pemaparan kepada lima wartawan dari Indonesia di KBRI Kuala Lumpur, Selasa (18/3) mengatakan, upaya peningkatan perlindungan dan advokasi kepada TKI dimulai seiring dengan upaya peningkatan pelayanan kekonsuleran dan imigrasi kepada WNI di Malaysia.
Upaya perlindungan dan advokasi itu ditangani melalui Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI (Satgas PPWNI). Satgas PPWNI itu dibentuk saat Rusdihardjo masih menjabat Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia.
Senior Liaison Officer Polri untuk KBRI Kuala Lumpur Komisaris Besar Setyo Wasisto mengatakan, satgas tersebut terdiri atas fungsi-fungsi di KBRI Kuala Lumpur sehingga di dalamnya terdapat fungsi imigrasi, fungsi konsuler, fungsi ketenagakerjaan, fungsi politik, fungsi ekonomi, fungsi penerangan, fungsi pertahanan, fungsi perdagangan, fungsi perhubungan, fungsi pendidikan dan kebudayaan, fungsi riset, fungsi komunikasi, dan senior liaison officer.
Munculnya satgas setidaknya menjadikan KBRI tidak lagi menunggu bola, tetapi aktif menjemput bola atas segala permasalahan yang dihadapi WNI di Malaysia. Satgas berkeliling ke penjara-penjara dan pusat deportasi di Malaysia untuk mengetahui dan mendata WNI yang dipenjara serta mengambil langkah perlindungan. Satgas juga melakukan outreach atau kunjungan ke daerah-daerah konsentrasi asal TKI di berbagai daerah di Indonesia dan kantong-kantong TKI di Malaysia. Setiap kunjungan satgas melakukan penyuluhan dan pelayanan publik.
Di Malaysia, satgas menyebar nomor hotline bantuan lewat nomor layanan pesan singkat (SMS) untuk pelayanan pengaduan. Cara tersebut cukup efektif menjaring laporan ketika upaya perlindungan makin kompleks. Itu karena satgas tidak hanya melayani perlindungan kepada WNI resmi, tetapi juga kepada WNI ilegal.
Lebih jauh Tatang mengemukakan, upaya perlindungan melalui cara-cara langsung kepada TKI sangat penting. Itu karena TKI di Malaysia mengisi 62,8 persen dari total tenaga kerja asing di Malaysia. Artinya, beban pekerjaan KBRI Kuala Lumpur sedemikian besar sehingga dibutuhkan cara-cara penanganan yang efektif.
Berdasarkan catatan KBRI Kuala Lumpur, lebih dari dua juta WNI berada di Malaysia. Sekitar 1,2 juta di antaranya TKI resmi yang memiliki izin bekerja di Malaysia. Sekitar 800.000 di antaranya berstatus ilegal.
TKI ilegal umumnya berasal dari perbatasan dan banyak dipekerjakan di sektor-sektor yang membutuhkan banyak tenaga kerja. TKI ilegal sangat rentan sebab mereka datang tanpa dokumen dan rawan menjadi korban sindikat pekerja (trafficking in person). Pekerja tanpa dokumen itu datang dengan tongkang atau kendaraan darat tanpa ada pengecekan dokumen karena mereka sudah biasa melakukan lintas batas.
Jumlah WNI ilegal yang dideportasi pun cukup banyak. Di Pasir Gudang, Johor, Malaysia, tak kurang dari 250 hingga 500 orang TKI dideportasi setiap hari. Untuk pendatang gelap semacam itu, KBRI Kuala Lumpur memberikan pelayanan Surat Perjalanan Laksana Paspor dan check out memo gratis.
Sementara itu, dari 1,2 juta TKI resmi, umumnya mereka bekerja di sektor ladang atau perkebunan, rumah tangga, konstruksi, pabrik, pertanian, dan jasa/servis. Data KBRI Kuala Lumpur per 31 Desember 2007 berdasarkan sektor pekerjaan menyebutkan, pekerja perkebunan/pertanian 394.458 orang, pekerja rumah tangga 294.784 orang, pekerja konstruksi dan kilang atau pabrik 417.796 orang, dan pekerja sektor jasa seperti rumah makan sekitar 41.012 orang.
Satgas mendata 1.964 orang WNI saat ini berada dalam penjara di berbagai wilayah Malaysia. Mereka dipenjara karena melakukan pelanggaran pidana dari pidana ringan seperti kasus keimigrasian hingga yang menghadapi ancaman berat dan hukuman mati karena perampokan, pembunuhan, dan narkoba. ”Kami berupaya mendampingi dan memberi pelayanan perlindungan kepada mereka,” kata Setyo.
TKI resmi, terutama tenaga kerja wanita (TKW), mengalami masalah yang tak kalah pelik. Mereka menghadapi masalah eksploitasi berupa gaji tak dibayar oleh majikan/agensi, beban kerja yang terlalu berat, kondisi kerja yang tidak sesuai, diusir majikan, tidak betah bekerja, pelecehan seksual/pemerkosaan, penyiksaan, telantar, hingga menjadi korban trafficking.
Khusus TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, masalah pemahaman majikan terhadap pekerja ternyata sangat kurang. Satgas PPWNI menemukan, banyak majikan Malaysia yang semena-mena memperlakukan TKI. Bagi TKI Muslim yang bekerja untuk majikan non-Muslim, sering kali mereka dilucuti. Majikan akan membuang alat-alat sembahyang dan memperlakukan TKI seenaknya, seperti menyuruh TKI memakan makanan yang tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Akibatnya TKI menjadi tidak betah dan memilih lari.
Perlindungan TKW
Selama Januari-Desember 2007, 744 TKW minta perlindungan ke KBRI Kuala Lumpur atas masalah eksploitasi. Sebanyak 231 orang tidak dibayar gaji, 87 orang mengalami pekerjaan yang terlalu berat, 51 mengalami kondisi kerja yang tidak sesuai, 39 orang diusir majikan, 123 orang tidak betah bekerja, 29 orang mengalami pelecehan seksual, 106 orang mengalami penyiksaan, 17 orang telantar, 19 orang korban trafficking, dan 42 orang minta perlindungan karena alasan lain. Sementara itu, pada periode Januari-Februari 2008 sebanyak 139 TKW minta perlindungan kepada KBRI Kuala Lumpur.
Dari jumlah TKW yang minta perlindungan, sampai 31 Maret 2008 sebanyak 50 TKW bermasalah dan satu bayi masih ditampung di tempat penampungan atau shelter di belakang Gedung KBRI Kuala Lumpur dan berkapasitas 70 tempat tidur.
Dari berbagai jenis masalah eksploitasi itu, Satgas PPWNI berupaya membantu menyelesaikan masalah TKW. Satgas terutama membantu menggarap masalah advokasi TKI.
Untuk masalah TKI di sektor informal, seperti pembantu rumah tangga yang tidak dibayar gajinya oleh majikan, KBRI melalui satgas membantu menegosiasikan pembayaran gaji dengan majikan/agensi, sesuai masa kerja TKI. Cara demikian berhasil menyelamatkan gaji dan kompensasi hak TKI pada periode Januari-Desember 2007 sebesar Rp 3,416 miliar. Adapun pada periode Januari-Maret 2008 gaji dan kompensasi hak TKI yang diselamatkan Rp 1,077 miliar.
Untuk TKI yang mengalami masalah eksploitasi lain, seperti penganiayaan/penyiksaan, ataupun hubungan industrial majikan-pekerja, satgas juga memfasilitasi penyelesaian masalah. Bagi WNI yang tengah menjalani proses hukum di pengadilan, satgas memberi pelayanan perlindungan dengan menyediakan pengacara. Dengan penyelesaian dengan cara demikian, KBRI Kuala Lumpur secara konstan mampu menyelesaikan 1.000 kasus per tahun atau 3-4 kasus per hari dapat diselesaikan.
Dalam pertemuan dengan 100 agensi pekerja yang tergabung dalam Persatuan Agensi Pembantu-Rumah Asing Malaysia (Papa) pada Selasa (18/3), Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur Teguh Hendro Cahyono mengatakan, melihat kompleksnya masalah ketenagakerjaan yang dihadapi KBRI Kuala Lumpur, setiap agensi pekerja Malaysia diimbau membantu satgas menyelesaikan masalah pekerja-majikan tersebut. ”Kita harus bekerja sama menyelesaikan masalah-masalah demikian,” katanya.
Diakui Teguh, berbeda dengan pekerja asal Filipina yang betul-betul dipersiapkan dan dilengkapi dengan syarat-syarat ketat mengenai calon majikan dan jenis pekerjaan, banyaknya kasus ketenagakerjaan TKI yang ditangani KBRI Kuala Lumpur tidak terlepas dari persiapan keberangkatan calon TKI.
Banyak TKI diberangkatkan tanpa persiapan fisik, mental, dan keterampilan. Para TKI juga ternyata banyak yang tidak dilengkapi pemahaman mengenai identitas majikan dan agensi yang menyalurkan mereka. Jadi ketika terjadi masalah dengan TKI, minimnya pengetahuan menyulitkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak TKI.
Lebih jauh Tatang mengatakan, upaya perbaikan dan peningkatan pelayanan perlindungan itu seharusnya diikuti pula dengan perbaikan pelayanan di dalam negeri. Pemerintah, khususnya Departemen Tenaga Kerja, sepatutnya juga membantu memberikan perlindungan tersebut.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor PER-23/MEN/V/2006 jo. Permenakertrans No. PER-20/MEN/X/2007 tentang Asuransi Tenaga Kerja sebetulnya sudah berupaya membekali TKI dengan asuransi. Asuransi dikelola oleh Konsorsium Asuransi dan beranggotakan lima perusahaan asuransi yang ditunjuk Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk menjamin nasib TKI di luar negeri. Lima perusahaan itu adalah PT Asuransi Jasindo, PT Asuransi Bangun Askrida, PT Asuransi Ramayana, PT Umum Mega, dan PT Asuransi Adira Dinamika.
Dengan aturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu, perusahaan asuransi diperbolehkan memungut biaya asuransi Rp 400.000 per TKI. Tujuannya, ketika TKI tersebut mendapat masalah, asuransi yang akan membantu TKI.
Namun, dalam praktiknya, kelima perusahaan asuransi itu tidak efektif menjamin nasib TKI. Acap kali terjadi masalah ketenagakerjaan konsorsium asuransi itu lepas tangan. Asuransi akhirnya lebih banyak memungut tanpa memberikan santunan.
Atas ketimpangan itu, wajar apabila Komisi IX DPR mendesak pemerintah segera membubarkan konsorsium. ”Konsorsium itu tidak perhatian pada TKI, padahal mereka mengelola uang TKI. Lebih baik konsorsium dibubarkan dan pemerintah membuat lembaga independen, terutama pada masa penempatan TKI,” tegas Ribka Tjiptaning, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP. (Helena Nababan)
© 2008 Kompas Gramedia. All rights reserved
47 Asuransi Terancam Gugur
47 Asuransi Terancam Gugur
Laporan Persda Network Hasanuddin Aco
JAKARTA,SELASA - Anda termasuk nasabah asuransi? Kalau jawabannya, yah? Mulai sekarang perhatikan berapa modal perusahaan asuransi tempat Anda tersebut. Pasalnya saat ini ada sekitar 47 perusahaan asuransi di Indonesia yang bermodal di bawah Rp 35 miliar. "Sebanyak 47 asuransi ini kalau tidak gugur, harus merger dengan asuransi lainnya atau akuisisi," jelas Kepala Biro Riset InfoBank Eko B Supriyanto dalam konferensi pers "Rating 126 Asuransi Versi InfoBank dan Musim Gugur Perusahaan Asuransi" di Jakarta, Selasa (24/6).
Dari 47 perusahaan asuransi tersebut 11 diantaranya perusahaan asuransi jiwa dan 36 perusahaan asuransi umum. "Dengan kata lain asuransi ini harus tambah modal kalau tidak akan terkena aturan PP No 39/2008," katanya.
Berdasarkan PP No 39/2008 menyebutkan antara lain perusahaan asuransi harus memenuhi modal minimal Rp 40 miliar pada akhir 2008, dan 2009 minimal Rp 70 miliar, dan harus mencapai Rp 100 miliar tahun 2010.
Sedangkan perusahaan yang memiliki modal Rp 50 miliar memiliki peluang untuk aman sampai akhir 2009 karena pemenuhan modal hingga sebesar Rp 70 miliar bisa dicapai dengan catatan bisa meraih pertumbuhan organik 20 persen per tahun. "Kami mencatat ada 79 yang modalnya Rp 50 miliar ke atas," katanya.
Dengan data saat ini kalau sejumlah asuransi tidak melakukan perbaikan maka 2009 jumlah asuransi yang terancam gugur kalau tidak merger atau akuisisi akanbertambah jadi 55 asuransi dengan rincian 13 asuransi umum dan 42 asuransi jiwa. "Penyebabnya karena inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga, pertumbuhan ekonomi, investasi ,dan kredit," katanya.
Pengamat Asuransi Alberto F masyarakat harus berhati-hati memilih asuransi karena bila tidak nasabah yang akan dirugikan. "Harus perhatikan pertanggungjawaban publik laporan keuangannya," kata dia.
Dia malah memprediksi akan ada sekitar 17 asuransi yang akan tutup dalam tiga atau empat tahun mendatang karena tak mampu membayar klaim nasabah. "Ada yang benar-benar parah dan perlahan-lahan akan hilang," jelasnya.
Laporan Persda Network Hasanuddin Aco
JAKARTA,SELASA - Anda termasuk nasabah asuransi? Kalau jawabannya, yah? Mulai sekarang perhatikan berapa modal perusahaan asuransi tempat Anda tersebut. Pasalnya saat ini ada sekitar 47 perusahaan asuransi di Indonesia yang bermodal di bawah Rp 35 miliar. "Sebanyak 47 asuransi ini kalau tidak gugur, harus merger dengan asuransi lainnya atau akuisisi," jelas Kepala Biro Riset InfoBank Eko B Supriyanto dalam konferensi pers "Rating 126 Asuransi Versi InfoBank dan Musim Gugur Perusahaan Asuransi" di Jakarta, Selasa (24/6).
Dari 47 perusahaan asuransi tersebut 11 diantaranya perusahaan asuransi jiwa dan 36 perusahaan asuransi umum. "Dengan kata lain asuransi ini harus tambah modal kalau tidak akan terkena aturan PP No 39/2008," katanya.
Berdasarkan PP No 39/2008 menyebutkan antara lain perusahaan asuransi harus memenuhi modal minimal Rp 40 miliar pada akhir 2008, dan 2009 minimal Rp 70 miliar, dan harus mencapai Rp 100 miliar tahun 2010.
Sedangkan perusahaan yang memiliki modal Rp 50 miliar memiliki peluang untuk aman sampai akhir 2009 karena pemenuhan modal hingga sebesar Rp 70 miliar bisa dicapai dengan catatan bisa meraih pertumbuhan organik 20 persen per tahun. "Kami mencatat ada 79 yang modalnya Rp 50 miliar ke atas," katanya.
Dengan data saat ini kalau sejumlah asuransi tidak melakukan perbaikan maka 2009 jumlah asuransi yang terancam gugur kalau tidak merger atau akuisisi akanbertambah jadi 55 asuransi dengan rincian 13 asuransi umum dan 42 asuransi jiwa. "Penyebabnya karena inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga, pertumbuhan ekonomi, investasi ,dan kredit," katanya.
Pengamat Asuransi Alberto F masyarakat harus berhati-hati memilih asuransi karena bila tidak nasabah yang akan dirugikan. "Harus perhatikan pertanggungjawaban publik laporan keuangannya," kata dia.
Dia malah memprediksi akan ada sekitar 17 asuransi yang akan tutup dalam tiga atau empat tahun mendatang karena tak mampu membayar klaim nasabah. "Ada yang benar-benar parah dan perlahan-lahan akan hilang," jelasnya.
Saturday, July 12, 2008
Strategi Marketing Celebrity Fitness,Fitness First, Gold Gym Indonesia
Sebagai penguna jasa Celebrity Fitness di Jakarta. Celeb Fitness sebagai pelopor fitness life style di Jakarta yang sukses. Strategi mengundang orang orang untuk mencoba Fasilitas gratis dan dengan membuka harga tinggi dulu kemudian menurunkan harga penawaran. Biasanya konsumen diikat dengan perjanjian selama satu tahun memakai Credit card.
Hal yang positif yang dapat ditarik:
1. Memotivasi gaya hidup sehat
2. Jam buka yang panjang.
3. Memacu semangat olah raga.
4. Bisa ketemu artis Indonesia
Hal yang negatif:
1. Strategi yang agak memaksa orang ikut member club.
2. Terikat satu tahun dan denda Rp.500.000 saat akan berhenti, tanpa menjelaskan pada saat bergabung
3. Fitness consultant yang setelah menjual ke customer. Bila customer ingin berhenti agak tidak perduli.
4. Member memakai kartu kredit BCA yang terikat 15 bulan.Tidak bisa berhenti.
5.House musik yang terlalu kencang. Target Market hanya cocok untuk generasi 18-35 tahun.
6. Para member yang terikat setahun yang ingin berhenti tidak mau perpanjang lagi karena pengalam buruk
7.Jam kerja bagi konsultan terlalu panjang melebih jam kerja depnaker, Sales manager terlalu kejar target.
8.Pengantian staff yang tinggi terutama sales consultant.
Hal yang perlu diperbaiki:
1. Trainer yang tidak hanya melayani karena motivasi uang. Karena semua customer perlu dilayani dengan baik.
2. Sales consultant yang hanya mengejar target. Ketika customer ingin mentransfer kartunya atau menjual kartunya mesti dibantu. After service sales tetap ada bukan cuek saja.
Fitness first.
Strategi agak fleksibel dengan program 3 bulan tidak terlalu mengikat walau harga agak mahal sedikit.
Musik agak tidak berisik, cocok semua kalangan
Ada fasilitas kolam renang, bisa sewa DVD dan nonton DVD gratis.
Gold Gym
Pada awal promosi, harga agak murah dengan paket promosi.
Karena banyak ex staff dari Celebrity fitness yang pindah kesana.
Meniru gaya mengikat satu tahun dan denda Rp.500.000
Saran saya manajemen fitness harus memberi pelayanan yang win win solution bagi customer.
Bagi teman yang punya pengalaman ketiga Fitness center harap memberi komentar anda.Forum ini sebagai wadah bagi para marketing dan business konsultan untuk memperbaiki strategi bisnis.Menurut anda mana yang paling anda anggap terbaik.
Saya tunggu komentar anda semua.
Hal yang positif yang dapat ditarik:
1. Memotivasi gaya hidup sehat
2. Jam buka yang panjang.
3. Memacu semangat olah raga.
4. Bisa ketemu artis Indonesia
Hal yang negatif:
1. Strategi yang agak memaksa orang ikut member club.
2. Terikat satu tahun dan denda Rp.500.000 saat akan berhenti, tanpa menjelaskan pada saat bergabung
3. Fitness consultant yang setelah menjual ke customer. Bila customer ingin berhenti agak tidak perduli.
4. Member memakai kartu kredit BCA yang terikat 15 bulan.Tidak bisa berhenti.
5.House musik yang terlalu kencang. Target Market hanya cocok untuk generasi 18-35 tahun.
6. Para member yang terikat setahun yang ingin berhenti tidak mau perpanjang lagi karena pengalam buruk
7.Jam kerja bagi konsultan terlalu panjang melebih jam kerja depnaker, Sales manager terlalu kejar target.
8.Pengantian staff yang tinggi terutama sales consultant.
Hal yang perlu diperbaiki:
1. Trainer yang tidak hanya melayani karena motivasi uang. Karena semua customer perlu dilayani dengan baik.
2. Sales consultant yang hanya mengejar target. Ketika customer ingin mentransfer kartunya atau menjual kartunya mesti dibantu. After service sales tetap ada bukan cuek saja.
Fitness first.
Strategi agak fleksibel dengan program 3 bulan tidak terlalu mengikat walau harga agak mahal sedikit.
Musik agak tidak berisik, cocok semua kalangan
Ada fasilitas kolam renang, bisa sewa DVD dan nonton DVD gratis.
Gold Gym
Pada awal promosi, harga agak murah dengan paket promosi.
Karena banyak ex staff dari Celebrity fitness yang pindah kesana.
Meniru gaya mengikat satu tahun dan denda Rp.500.000
Saran saya manajemen fitness harus memberi pelayanan yang win win solution bagi customer.
Bagi teman yang punya pengalaman ketiga Fitness center harap memberi komentar anda.Forum ini sebagai wadah bagi para marketing dan business konsultan untuk memperbaiki strategi bisnis.Menurut anda mana yang paling anda anggap terbaik.
Saya tunggu komentar anda semua.
Subscribe to:
Posts (Atom)