SUARA PEMBARUAN DAILY
Christianto Wibisono
ada debat calon presiden (capres) final 15 Oktober, "Joe the Plumber" menjadi fokus dan isu utama ketika tukang ledeng dari Desa Holland, Ohio, itu disebut berulang kali oleh Obama dan John McCain. Joe mengeluh, sebagai pengusaha kecil ia akan terkena pajak Obama karena omzet di atas US$ 250.000. McCain langsung menyatakan bahwa ia menentang pemerataan penghasilan gaya Obama.
Setelah debat, kubu Republik juga menyatakan, pembayar pajak AS hanya sekitar 50 persen rakyat AS. Jadi, ucapan Obama akan membebaskan 95 persen rakyat kecil dari pajak hanya retorika. Faktor "Joe the Plumber" tidak akan mempengaruhi, tulis The Washington Post yang meng-endorse Obama. Pemilih sedang risau soal ekonomi karena pada minggu terakhir September yang muncul bukan kejutan video tape Osama bin Laden, melainkan krismon AS yang menakutkan.
Pada Pilpres 2004, Kerry kalah karena Osama berpidato seminggu sebelum hari H, sehingga Bush menang mutlak. Sekarang orang bicara soal Bradley factor, yaitu polling "semu".
Obama mirip mantan Wali Kota Los Angeles Tom Bradley dalam Pilgub California 1982, unggul dalam poll, tapi kalah dalam realitas. Obama tampak unggul karena Bush sangat tidak populer karena perang teror telah membangkrutkan AS.
Membalas serangan 911 Osama bin Laden, AS menduduki Afghanistan, membubarkan Taliban dan menyerang Irak. Semua membutuhkan triliunan dolar yang harus dibiayai secara defisit oleh pemerintah AS. Padahal, ekonomi AS mengalami tekanan akibat banjirnya produk manufaktur terefisien sedunia dari RRT.
Defisit APBN bersama defisit neraca perdagangan, memaksa sektor finansial AS melakukan lompatan superkreatif, melipatgandakan produk derivatives yang mirip monster Frankenstein. Liar tidak terkendali dan akan menelan penciptanya sendiri dalam ke bangkrutan. Produk ini sebetulnya sudah ada sejak 1985, bahkan pelakunya sudah membentuk International Swaps and Derivatives Association (ISDA), yang akan berkongres di Beijing, April 2009.
Kaum superkreatif memperkenalkan futures trading, hedging (ijon modern), option trading, margin trading, obligasi gombal (junk bond) sampai pada sekuritisasi utang macet. Jaminan surat utang macet ini memakai istilah misterius yang membuat orang awam malu bertanya. Collateralized debt obligation (CDO) dan credit default swaps (CDS) melalui badan hukum special purpose vehicle (SPV) yang berdomisili di kotak pos negara gurem suaka pajak. Ini menjadi suatu kasino raksasa dengan total dana mencapai US$ 500 triliun atau 10 kali lipat total PDB dunia.
Orang dan lembaga superkreatif yang jadi monster ini berada di luar pengawasan SEC New York ataupun FSA London, apalagi Bapepam LK Indonesia yang hanya miniatur SEC atau FSA.
Di bawah yurisdiksi siapa, transaksi lintas negara, lintas valuta, dan multilevel ini dikontrol, diawasi dan diadili bila terjadi fraud, penipuan, dan penggelapan dana nasabah melalui metode canggih yang dihalalkan. Padahal, sebenarnya penjarahan di siang bolong terhadap harta milik orang awam oleh pelaku bursa dengan metode yang sangat canggih.
Membenarkan manipulasi transaksi derivatives menggurita dunia, seperti naked short selling, menjual barang yang tidak di tangan untuk menjatuhkan saham pihak lain dalam hitungan jam. Atau merontokkan nilai valuta suatu negara, seperti pernah dilakukan George Soros terhadap pound sterling Inggris, pada 1992.
Harus Ditertibkan
Kasino derivatives inilah yang harus ditertibkan oleh pemimpin dunia. KTT Uni Eropa Rabu (15/10) di Brussels mengusulkan agar KTT G-8 November mendatang membuat regulasi global untuk derivatives sebagai sumber malapetaka krisis.
Presiden Bush, Jumat (17/10), berpidato di US Chamber of Commerce mengulangi imbauan sowan ke IMF seminggu sebelumnya. AS memerlukan dukungan dan kerja sama dari kreditor global baru, RRT, Arab, Jepang, dan para penabung Asia Timur lain untuk tetap mempercayai AS dengan menaruh dana dalam US$ sebagai pilihan yang masih aman.
Karena krisis kebangkrutan Wall Street membuat orang tidak percaya lagi pada mitos kehebatan AS. Ternyata, perbankan dan lembaga keuangan papan atas AS ceroboh, gegabah, dan melakukan praktik imprudent dalam pengelolaan dana pihak ketiga, mirip para konglomerat Asia Timur 1998.
RRT telanjur membenamkan dana US$ 500 miliar ke obligasi dan surat berharga AS. Sementara Wall Street gagal mendisiplinkan pelaku, sehingga triliunan dana lenyap menguap. Dulu AS melalui IMF menjadi diktator pemaksa Asia Timur termasuk Indonesia menuruti conditionality IMF.
Avind Subramaniam, Senior Fellow pada Peterson Institute of International Economics, menulis kolom berjudul A Master Plan for China to bail out America. Jika Tiongkok menjalankan peranan IMF untuk AS, maka kepada AS harus dikenakan sanksi conditionality yang sama dengan terapi kejut IMF ter hadap Asia Timur pada krismon 1998.
Menyeret pelaku petualangan yang mengakibatkan kerugian bursa dan menyita aset riil yang masih bisa ditelusuri, CEO perusahaan bangkrut pasti mengetahui ke mana uang yang menimbulkan kerugian itu. Kalau sudah dibelikan properti yang macet, tentu bisa disita properti riil yang menjadi sumber krisis. Tapi, asetnya sudah dikemas dalam produk sekuritas pindah tangan mirip multilevel marketing dari satu ke lain bank, dan lembaga keuangan. Maka harus ditelusuri terbalik dari aset fiktif, lewat pelbagai tangan sampai ke aset riil, seperti mencari jarum dalam jerami.
Praktik seperti ini didiamkan terjadi dan baru ditindak setelah memakan korban raksasa Bear Stearns, Freddie Mac, Fannie Mai, Lehman Brothers serta puluhan bank papan atas dan menengah di seluruh dunia, bukan hanya di AS. Virus beracun transaksi derivatives yang lepas kendali inilah yang menjadi penyebab krisis global. Karena itu, virus ini harus dipunahkan kalau tidak ingin terulang krisis serupa.
Seluruh pelaku derivatives yang bangkrut seharusnya dipidanakan dan disita seluruh hartanya lalu diadili oleh mahkamah internasional, yang setara dengan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sebab musibah di bursa Wall Street ini memakan korban ratusan juta manusia bumi yang kehilangan hak hidup, karena bangkrut, menganggur, jatuh miskin, dan memikul utang tanpa kemampuan mencicil. Pada hakikatnya ditipu mentah-mentah oleh para pelaku bursa penjaja monster yang memangsa harta jerih payah kelompok "Joe the Plumber" di seluruh dunia.
Baik Obama maupun McCain tidak akan mampu memperbaiki nasib "Joe the Plumber", kalau tidak mentas dari akar masalah, Besar pasak daripada tiang, gregetan kepada Osama dan superkreatif keblinger pencipta monster Frankenstein derivatives yang menjadi predator (pemangsa) ekonomi AS.
Presiden Prancis dengan mandat penuh dari Uni Eropa didampingi Ketua UE Jose Manuel Barosso, Sabtu lalu, mendesak Bush segera menyelenggarakan KTT G-8 plus termasuk RRT dan India untuk merombak struktur ekonomi warisan Bretton Woods.
Indonesia hanya bisa memanfaatkan lobi ASEM-7, minggu ini, di Beijing, menitipkan pesan melalui forum ASEAN Plus 3. Tidak satu pun capres yang berani bicara soal krisis global, hanya incumbent yang berusaha memakai ASEAN dan G-20 karena RI memang belum masuk G-8. Kasihan sekali nasib RI ibarat "Joe the Plumber" karena memang cuma punya cadangan devisa US$ 57 miliar.
Penulis adalah pengamat masalah nasional dan internasional
Last modified: 19/10/08
Monday, October 20, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment