Saturday, September 20, 2008

Bisnis Menara Telekomunikasi di Indonesia

Ada gula ada semut. Bisnis telekomunikasi makin gemuk, penyedia menara telekomunikasi pun makin sibuk. Coba simak deh, hanya dalam 6 tahun, jumlah pemainnya sudah mencapai 50 perusahaan. Di antara pemain lokal yang sudah menikmati bisnis menara base tranceiver station (BTS), yakni: Indonesian Tower; Protelindo; Komet Consortium; Bali Telecom; Pandu Sarana Global; Telcentec Indonesia; Wahana Lintassentral Telekomunikasi; dan Deltacomsel Indonesia.

Mungkin lantaran saking gurih, beberapa pemain asing pun tergoda ikut menggarapnya, antara lain: American Tower (dari Amerika Serikat); Gulf Tower (Timur Tengah); dan Tower Vision (India). Sejumlah perusahaan investasi besar juga ikut-ikutan menyerbu, mulai dari Paralon Capital, Recapital, Asia Fund, hingga Saratoga Capital, yang membeli menara yang sudah disewakan ke operator.

Berbeda dari pemain “tradisional”, kalangan private equity fund (PEF) ini masuk dengan cara membeli aset (berupa menara) milik operator telekomunikasi dengan pola purchase and lease back. Sebagai contoh, Paralon Capital dengan memakai keahlian ekspat mantan eksekutif American Tower membeli Protelindo. Rencananya, Paralon hendak pula membeli menara milik Hutchinson Charoen Pokphand Telecom (HCPT) via Nokia Siemens Network (NSN). Adapun Saratoga Capital membeli Bali Telecom, Telenet, dan Tower Bersama. Saat ini, Paralon dan Saratoga diperkirakan masing-masing memiliki 2.000-an menara.

Apa sih yang membuat bisnis ini begitu menggoda? “Infrastruktur telekomunikasi di Indonesia belum memadai, sehingga diperlukan menara yang cukup banyak untuk menghubungkan seluruh daratan dan kepulauan dalam sebuah sistem,” ujar Sakti Wahyu Trenggono, Presdir Solusindo Kreasi Pratama (Indonesian Tower). “Apalagi, sekarang banyak operator telekomunikasi baru di Indonesia yang menginginkan pengembangan jaringannya lebih cepat. Caranya dengan menyewa menara yang sudah ada daripada membangun menara baru,” kata Peters M. Simanjuntak, Presdir Komet Consortium, menambahkan.

Berdasarkan analisis Citigroup, industri seluler Indonesia dalam lima tahun ke depan membutuhkan 158.030 menara. Jika diasumsikan investasi per menara sebesar Rp 1,1 miliar, dibutuhkan tidak kurang dari Rp 173,5 triliun untuk pembangunan selama lima tahun ke depan. Menurut Asosiasi Pengembang Infrastruktur Menara Telekomunikasi, menara BTS di Indonesia pada 2008 telah mendekati 60 ribu unit. Sementara kebutuhan ideal menara telekomunikasi di Indonesia bisa mencapai 100 ribu unit – jika masing-masing operator membangun menara.

Bisnis menara telekomunikasi ini bisa dibagi menjadi dua bagian, yakni bisnis konstruksi dan bisnis penyewaan. Umumnya pemain di bisnis ini menyebutkan margin laba bisnis konstruksi menara cukup baik. Adapun dari bisnis penyewaan, return-nya diperkirakan 4%-6% di atas bunga pinjaman bank (borrowing rate). “Inilah yang menyebabkan investor melihatnya sebagai peluang,” ucap Peters.

Faktor lain yang mendorong maraknya bisnis penyewaan menara adalah turunnya kebijakan pemerintah (Permenkominfo No. 02 Tahun 2008) yang menetapkan pemakaian menara secara bersama oleh kalangan operator telekomunikasi. Tak heran, belakangan banyak operator seluler yang memilih langkah menjual menara miliknya ke investor. Dimulai dari Mobile-8 yang menjual miliknya ke Tower Bersama. Lalu, HCPT (alias “3”) yang menjual menaranya ke NSN. Excelcomindo juga dikabarkan siap melego sekitar 7.000 menaranya. Begitu pula dengan Bakrie Telecom yang telah memiliki 400-an menara, dan Indosat pun berencana menjual sebagian menara miliknya.

Mengenai pemain kuatnya, sejauh ini bisnis penyewaan menara masih dikuasai Indonesian Tower. Hingga Agustus 2008 Indonesian Tower memiliki dan mengoperasikan lebih dari 2.000 menara, rata-rata tiap menara tiga penyewanya. Saat ini, semua operator yang ada di Indonesia sudah menjadi kliennya. Berada jauh di belakangnya adalah Komet Consortium yang mempunyai sekitar 300 menara, dengan 450 tenant.

Menurut Peters, pihaknya hendak melakukan pendekatan pasar dengan konsep Menara Telekomunikasi Terpadu dalam satu daerah, dengan menghindari monopoli di daerah itu. Selain itu, ia menjanjikan terus meningkatkan service level dan menyediakan maintenance bagi para penyewa. “Komet tetap akan berkonsentrasi di Sumatera dan Jawa, dengan lebih mendekatkan diri dengan pemerintah daerah dan institusi pembiayaan daerah,” Peters mengungkapkan jurusnya.

Adapun Sakti tetap yakin Indonesian Tower masih akan mendominasi pasar. Alasannya, perusahaannya telah memiliki barisan SDM terlatih yang siap dipanggil dalam 24 jam. Perusahaannya juga disebutkan telah mengaplikasi sistem mutakhir, bernama Site Management Centre, yang mampu memonitor tiap site dan memberi informasi ketika ada gangguan, dengan response time maksimum 90 menit. “Kami ingin tetap menjadi yang terbesar di bisnis ini,” ujar Sakti. Yang pasti, masuknya para pemain asing plus kalangan investor pemilik dana raksasa (PEF), bakal lebih meramaikan bisnis ini.


A. Mohammad B.S. Riset: Sofyan Eko Putra.


URL : http://www.swa.co.id/

No comments: