Saturday, September 20, 2008

Jangan "Melukai" Nasabah

Luka yang diderita Marolov masih basah dan perih. Seakan tambah perih lagi karena klaim asuransi kesehatannya tidak dapat cair. Pasalnya, nama yang tertera di kartu tanda penduduk atau KTP-nya tidak sama dengan nama yang terdaftar dalam polis asuransi kesehatannya.

Setibanya di Jakarta, Maro dirawat intensif di salah satu rumah sakit di Jakarta Selatan. Lukanya ternyata bernanah karena perawatan yang kurang bersih.

"Beberapa hari kemudian, saya mengajukan klaim kepada asuransi kesehatan kantor. Ternyata agen asuransinya menyatakan tidak dapat mencairkan dana karena nama saya di KTP tertera Bram Marolov, sedangkan kantor mendaftarkan saya dengan nama lengkap Bram Marolov Almesputra. Rasanya tidak masuk akal kalau alasannya hanya nama," kata pria yang bekerja pada sebuah perusahaan kehumasan ini.

Semua dokumen keperluan untuk mengajukan klaim asuransi kesehatan, seperti surat keterangan dari rumah sakit, sudah lengkap di tangan. Masalahnya hanya satu, nama yang berbeda.

Kekesalan Maro bertambah ketika si agen tidak mengajukan solusi apa pun untuk mencairkan asuransi kesehatannya. "Dia bilang, memang demikian prosedurnya, nama harus sama. Sebenarnya bukan masalah berapa besar dananya, tetapi masalah hak konsumen yang diabaikan," ungkap Maro kesal.

Dengan masih tertatih-tatih, dia segera pergi ke rumah sakit dan mengubah semua namanya. "Ternyata di rumah sakit saya harus mendaftar dari awal dengan nama yang lebih lengkap. Setelah mendapatkan dokumen bernama sama, saya segera mengirim melalui faksimile karena sudah lewat dari batas waktu yang ditentukan agen. Akhirnya memang klaim itu dapat dicairkan. Setelah itu, perusahaan saya berganti perusahaan asuransi lainnya," ujarnya menambahkan.

Maro jelas kesal karena sulit mengurus klaim asuransi akibat hal sepele. Sebagai konsumen, dia juga merasa hak-haknya tidak dijamin sepenuhnya oleh perusahaan asuransi.

Tingkah laku para agen yang merupakan ujung tombak perusahaan asuransi memang kadang tidak seiring dengan hak konsumen yang seharusnya diberikan oleh perusahaan asuransi. Pada saat konsumen telat membayar premi, perusahaan asuransi membekukan polis konsumen, bahkan mengenakan denda atas keterlambatan tersebut.

Perjalanan panjang dalam mengurus klaim asuransi juga pernah dialami Komariyah. Ketika suaminya meninggal dunia karena sakit, dia harus mengurus klaim asuransi jiwa dan asuransi rumahnya. Saat itu dia sedang hamil muda.

"Dokumen memang harus lengkap. Surat kematian harus dilengkapi dengan keterangan dari RT, RW, sampai lurah. Di kelurahan, surat keterangan itu baru keluar setelah saya memberikan uang Rp 50.000 kepada petugasnya," tutur Komariyah. Untuk urusan satu dokumen ini saja, dia menghabiskan waktu sekitar satu bulan.

Dia pun mesti bolak balik ke kantor asuransi. "Saya sempat bolak-balik ke kantor asuransi untuk melengkapi dokumen yang diperlukan. Setelah sekitar enam bulan, barulah klaim itu dapat dicairkan," tutur Komariyah.

Menurut perencana keuangan dari QM Financial Ligwina S Poerwo, banyaknya keluhan tentang pelayanan asuransi berawal baik dari sisi konsumen maupun sisi perusahaan asuransi.

"Kebanyakan konsumen tidak mengetahui dengan jelas apa yang dibelinya. Mereka tahu membayar premi, tetapi tidak tahu apa manfaat yang didapatkan dari asuransi yang dibelinya. Istilah uang pertanggungan saja tidak tahu," papar Ligwina.

Selain itu, kebanyakan perusahaan asuransi menawarkan produk yang ada pada mereka kepada konsumen, bukan produk yang dibutuhkan konsumen.

"Masih terjadi penjualan yang berdasarkan dorongan produk (product push), bukan dorongan kebutuhan (demand pull). Karena itu, bagi perusahaan asuransi yang memiliki target, mereka berusaha menjual sebanyak-banyaknya untuk memenuhi target, bukan menjual produk apa yang dibutuhkan konsumen," katanya.

Pelanggaran kode etik

Ketua Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Eddy KA Berutu menegaskan, AAJI menegakkan asas kedisiplinan dalam berprofesi di kalangan para agen dengan mengacu pada ikrar bersama (seperti Code of Conduct) dan kode etik pemasaran. Setiap pengaduan pelanggaran ikrar bersama dan kode etik atau perselisihan yang terjadi di pasar akan dikembalikan duduk persoalannya pada kedua elemen dasar tersebut.

Sebuah standar prosedur operasi ditetapkan guna menangani pelanggaran kode etik di pasar. Secara umum, proses diawali dengan pengaduan oleh perusahaan anggota yang merasa dirugikan akibat pelanggaran oleh pihak tertentu kepada AAJI.

Setelah menerbitkan surat ekseptasi, AAJI membentuk tim independen untuk melakukan penelitian, pemeriksaan pada kasus yang diajukan, dan melakukan persidangan atas kasus. Keputusan persidangan oleh tim independen akan disampaikan kepada AAJI sebagai rekomendasi putusan perselisihan dan tindakan serta sanksi yang akan diambil.

Nasabah yang tidak puas terhadap berbagai pelayanan asuransi dapat mengadukan persoalannya ke Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI) tanpa dipungut biaya, baik langsung datang sendiri atau melalui faksimile, pos, atau e-mail.

Meski baru seumur jagung, keberadaan lembaga independen itu telah membawa manfaat cukup besar, tidak hanya bagi nasabah, tetapi juga untuk perusahaan asuransi.

"Semakin banyak nasabah yang melaporkan sengketa ke BMAI, kami semakin senang sebab nasabah yang masalahnya diselesaikan di BMAI umumnya menjadi lebih mengerti tentang asuransi. Dampaknya, bukannya mereka kapok berasuransi, tetapi justru makin giat berasuransi," kata Eddy Berutu.

Mengutip situs BMAI, Ketua BMAI Arizal ER mengungkapkan, sejak beroperasi pada 25 September 2006, BMAI telah menangani lebih dari 70 kasus persengketaan klaim. Sebanyak 36 kasus di antaranya dapat diselesaikan melalui mediasi.

BMAI merupakan lembaga independen dan imparsial yang memberikan pelayanan untuk penyelesaian perselisihan antara perusahaan asuransi dan pihak tertanggung. Perselisihan antara perusahaan asuransi dan nasabah adalah sebuah keniscayaan. Kesalahan bisa berasal dari perusahaan asuransi, agen, ataupun nasabah.

Eddy berharap para nasabah yang bersengketa dengan perusahaan asuransi dapat melaporkan perkaranya ke BMAI. Jika tidak, justru berpotensi merugikan industri asuransi jiwa sendiri. Nasabah yang bersengketa akan kapok berasuransi karena menganggap perusahaan asuransi tidak mau membayar klaim. Dampak lebih jauh, citra asuransi jiwa akan tercoreng. (joe/FAJ)

No comments: