Kecerdasan Yang Memberkati
Apa guna kecerdasan kalau hanya untuk diri sendiri? Fandy Tjiptono, Jonathan Prawira, dan Thomas Budi Pranantya, tiga dari sekian juta orang cerdas di bidangnya. Mereka mendedikasikan kepandaiannya demi kemuliaan Tuhan. Ruangan kerja Fandy Tjiptono, SE., M.Com di lantai II Fakultas Ekonomi, Gedung Bonaventura Universitas Atma Jaya Yogyakarta kecil saja, tidak lebih dari 3 x 3 meter. Hanya ada satu meja dan sebuah kursi. “Semoga jawaban-jawaban saya bisa memuliakan Tuhan,” ujarnya sembari tertawa. Secara akademik Fandy cerdas. Ia lulus tercepat, 3 tahun 8 bulan dari Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada November 1994. Indeks prestasinya tertinggi kedua se-universitas, 3,70. Setelah lulus ia menjadi dosen di sebuah PTS di Yogyakarta sebelum studi lanjut ke Universitas New South Wales, Sidney, Australia dengan spesialisasi pemasaran. Hanya dalam waktu satu tahun (1998-1999) studi S2 itu rampung. Tahun 2003 Fandy menempuh studi doktoral di universitas yang sama. “Kalau Tuhan berkenan, dua-tiga bulan ke depan semoga selesailah. Sudah terlalu lama saya kuliah,” tukas Fandy.
KELANGGENGAN MERK
Untuk tesis doktoralnya Fandy meneliti perihal kelanggengan merk, ia melakukan studi sejarah terhadap ratusan bahkan ribuan merk yang pernah hidup di Indonesia dalam kurun waktu 100 tahun terakhir. Tetapi mengapa soal kelanggengan merk? Fandy terusik oleh kenyataan banyaknya merk terkenal yang susahpayah dibesarkan, namun dijual kepada negara asing. Kecap Bango dibeli Unilever. Rokok Sampoerna begitu besar dibeli Philip Morris. Sekarang beberapa BUMN dijual kepada pihak luar. “Kita senang menjual tetapi tidak suka memelihara. Orang bangga sekali karena nilai transaksinya triliunan rupiah, tetapi tidak sadar kalau ( merk tersebut) sudah milik asing.” Bagi Fandy, merk adalah identitas. Dan identitas sama dengan jati diri. Menjual merk berarti menjual jati diri. “Setangkai mawar tetap dikenal orang sebagai mawar meski diberi seribu nama berbeda,” kata Fandy beranalogi. Sementara bangsa-bangsa lain menjaga merk-nya supaya tidak jatuh ke tangan orang lain atau pihak asing, Indonesia justru berbangga. Karena apa pun alasannya, menurut Fandy, begitu berpindah tangan, merk itu bukan milik kita lagi. Kecap Bango telah menjadi milik Uniliver, Sampoerna dibeli Philip Morris. Indosat dijual ke Temasek. Begitu Temasek untung dua kali lipat, dilegonya ke Qatar. Beberapa BUMN pun bernasib sama. “Bagi saya itu sudah menjadi merk nasional yang semu. Ada merk lokal yang asli Indonesia dan masih dimiliki orang Indonesia, tetapi ada juga yang semula dikembangkan orang Indonesia, sekarang sudah dimiliki asing. BUMN diprivatisasi, pemerintah dapat uang tetapi pemiliknya asing semua, lalu so what? Jangan-jangan kita ini bagus membangun merk, setelah bagus lalu dijual. Kesadaran orang ke arah merk itu belum sampai,” jelas Fandy.
TIDAK ADA DOKUMENTASI
Tetapi lelaki yang lahir di Tarakan Kalimantan Timur tahun 1972 itu segera tahu ia sedang “bunuh diri”. Pikirnya, data-data tentang merk akan gampang ia peroleh di instansi-instansi terkait di Jakarta. Bagaimana menulis disertasi dengan data-data yang minim, yang untuk mendapatkannya saja ibarat mencari jarum dalam jerami? Direktorat Pencatatan Merk, Balai POM, Departemen Hukum dan HAM tidak memiliki dokumentasi yang memadai. “Kalau data di atas tahun 1990-an ada, tetapi di bawah itu sudah dimusnahkan,” kata seseorang kepada Fandy. Ola..la...! Maka Fandy bolak-balik Sidney- Canberra-Jakarta. Lembaga-lembaga asing ia datangi. Fandy juga berburu koran-koran kuno. Ketemulah Sinar Djawa, Sinar Hindia, Matahari Indonesia dan Shimpo, yang terbit tahun 1914. Ada pula yang berbentuk micro film. Perpustakaan Nasional di Jakarta memberinya hak meng-copy ukubuku kuno tentang iklan. “Susahnya minta ampun. Kalau ketlingsut saja tidak jadi soal. Tetapi datanya tidak ada, bahkan sudah dimusnahkan,” kata Fandy tertawa. Untuk cross-check ia mendatangi Departemen Hukum dan HAM minta registrasi yang paling baru. Misalnya antara tahun 1950-1969, Fandy memiliki daftar untuk 6 kategori; rokok, kopi, teh, sampo, pasta gigi dan kecap. Ada sekitar 20 ribu merk dibaca Fandy, satu per satu, untuk melihat apakah ada duplikasi atau tidak. “Ada rokok yang merknya ‘Setan Gundul’ diproduksi tahun 1960-an. Saya telusuri pemiliknya, berapa persen yang masih hidup, berapa persen yang meninggal. Saya menganalisa juga faktor- faktor yang berkaitan,” jelas Fandy. Akhirnya Fandy menyimpulkan, dari 6 kategori yang ia teliti, rata-rata daya bertahan hidupnya sekitar 10%. Ini angka yang cukup besar karena 10% dari sekian ribu merk yang ada.
YANG PERTAMA
Fandy orang pertama di Indonesia yang meneliti tentang merk secara komprehensif. Tetapi ia membantahnya. Ia berharap data-data yang telah terkumpul dapat didokumentasikan dengan baik. “Dalam ilmu sosial seperti ini there´s nothing new under the sun. Tidak ada yang benar-benar baru di kolong langit ini,” ujarnya merendah. Tetapi diakui atau tidak, Fandy Tjiptono telah menyumbang sebuah karya yang sangat berarti bagi Indonesia.
© 2002-2008 bahana-magazine.com
Saturday, September 13, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
ini baru dosen gw.. Fandy Tjiptono, PhD (uda PhD)... mantap memang dari cara ngajar mpe bikin buku.. jenius... :D.. gw mo ngikutin ahhh... heuheu..
bos, mau koreksi dikit aja bos, itu bbrp kata salah.. harusnya:
- "an indonesiaN leader" (identitas)
- "you can discuss" (verb)
ga sempet analisis lg td, baca slewat doank.. hehehe
tq bos...
leonarkid.blogspot.com
Post a Comment