Saturday, September 13, 2008

Julianto Simanjuntak - Ibuku Luar Biasa



Awal 1950-an, Nurmala, ibuku, berkenalan dengan Theo, ayahku di sebuah rumah sakit di sebuah kabupaten Sumatera Utara. Ayahku, seorang polisi sementara ibuku bekerja sebagai perawat. Cinta mereka berkembang bak sinetron. Ketika itu, ibuku yang cantik juga “ditaksir” pria lain. Sampai-sampai ayahku dan pesaingnya sempat duel memperebutkan cintanya. Alhasil, ayahlah pemenangnya, walaupun dia harus mengorbankan telinganya yang robek dalam duel.Sejak hari itu ayah selalu memperingati hari “ulang tahun kuping”. Ayah-ibuku sering kali menceritakan peristiwa ini kepada kami, anak-anaknya. Sayangnya, romantisme ini tidak berlangsung lama.

SUKA JUDI DAN MINUM

Ayah punya kebiasaan main judi dan minum minuman keras. Tak heran, jika kekerasan menjadi sesuatu yang diakrabinya. Kalau dia sudah marah, semua yang di rumah kena imbasnya. Ibu pun kerap diperlakukan sewenang-wenang. Hal-hal kecil saja bisa memicu amarah ayah. Kalah judi, marah. Habis minum, mabuk. Rutinitas ayah setelah pulang kantor adalah makan siang, lantas pergi ke rumah teman-temannya. Kadang-kadang, teman-teman mereka bertandang ke rumah. Itu berarti judi dan mabuk. Dalam situasi ini, ibu harus selalu waspada, jangan sampai membuat ayahku marah.

Selain mendampingi ayah sebagai istri polisi dan aktif di persatuan ibu-ibu Bhayangkara, ibu membuka toko kelontong di sebelah rumah kami. Bakat ibu sebagai pedagang mulai nampak. Kehidupan ekonomi keluarga membaik. Kami punya televisi. Rumah kami selalu ramai dengan anak-anak tetangga yang ikut menonton. Kaum kerabat pun kerap menumpang. Bahkan, ada beberapa yang disekolahkan. Orang mengenal ayah-ibuku sebagai keluarga yang pandai bergaul dan murah hati.

INGIN ANAK PEREMPUAN

Orangtuaku dikaruniai delapan anak, laki-laki semua. Ketika anak pertama lahir, laki-laki, mereka sangat bersukacita. Sudah ada penerus marga. Tak lama setelah itu, berturut-turut lahir lima anak laki-laki. Aku adalah anak keenam. Ketika aku berusia 17 tahun ibu menceriterakan perasaannya ketika mengandung dan melahirkan aku. “Anak ini harus perempuan,” kata ibu menirukan kata-kata ayah ketika itu. ”Kalau tidak, ayahmu akan menceraikan aku!” Ayahku adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, juga laki-laki semua.

Tuntutan itu membuat ibuku tidak berdaya. Sepanjang ibu mengan-dung aku, dia hidup dalam ketakutan akan diceraikan oleh ayahku. Belum lagi tekanan-tekanan dan kekerasan yang dilakukan ayahku kalau kalah judi atau pulang dalam keadaan mabuk. Akhir Juli 1963 ibuku melahirkan aku, anak laki-laki lagi. Karena stres berkepanjangan, ibu mengalami pendarahan hebat dan hampir meninggal. Atas saran dokter, semua keluarga sudah berkumpul, siap melepas ibu mengakhiri penderitaannya. Tapi Tuhan belum memanggilnya. Beberapa hari kemudian, ibu sembuh dan boleh membawa aku pulang. Melihat kondisi ibu, ayah tidak jadi menceraikannya.

Tapi ayah masih tetap menantikan hadirnya seorang anak perempuan. Dua tahun kemudian ibu mengandung lagi. Ini anak ketujuh. Tetapi yang lahir masih laki-laki. Tidak sampai setahun, Tuhan memanggil si bungsu ini. Ibuku sangat sedih. Entah mengapa, perasaannya kepada adikku itu sangat mendalam. Ibu merasa kehilangan sekali. Eddy, adikku, dimakamkan di pemakaman umum tidak jauh dari rumah kami.

TIDUR DI KUBURAN

Kekerasan demi kekerasan dari ayah tetap dialami oleh ibuku. Suatu kali, dalam keadaan mabuk, ayah marah besar. Entah apa masalahnya, ibu tidak ingat. Tapi ayahku demikian marahnya sampai dia tidak puas hanya menendang dan menempeleng ibu sampai ke halaman. Waktu ayah masuk untuk mengambil ga-gang sapu, ibu melarikan diri dari rumah. Dia tidak peduli hari sudah tengah malam. Besoknya pagi-pagi benar, ketika kami akan mencari ibu, aku melihat ibu pulang dengan wajah babak-belur. ”Ibu dari mana? tanyaku. “Dari kuburan adikmu.”Ternyata tadi malam ibu tidur di kuburan Eddy, adikku.

JATUH MISKIN

Waktu terus berjalan. Kami bertujuh tumbuh menjadi remaja dan pemuda. Sifat buruk ayah ditiru oleh anak-anaknya. Judi dan mabuk dengan mudah kami pelajari dari ayah. Rumah kami seperti ”hotel”. Kami tidak pernah di rumah, kecuali untuk mandi, makan, dan tidur. Dalam situasi seperti ini, lahirlah anak kedelapan tahun 1968.

Tidak lama setelah itu, karier ayah di kepolisian mengalami masalah. Rupanya selama lima tahun terakhir ayah menggunakan gajinya untuk main judi. Negara dirugikan puluhan juta rupiah pada tahun 1975. Kepadanya diberi pilihan: mengembalikan uang negara atau dibui selama dua tahun dan dipecat dari kepolisian. Ayah memilih yang pertama.

Dalam waktu singkat, kami jatuh miskin. Linglung, seperti tidak berpijak di tanah. Ibu membawa kaleng biskuit, berisi emas dan berlian yang dikumpulkannya selama puluhan tahun ke pegadaian. Beratnya hampir 20 kilogram. Ini dilakukannya untuk menebus ayahku dari penjara. Semua tanah dijual. Toko kelontong bangkrut. Kerabat yang tadinya sering dibantu, memalingkan diri. Gaji pun masih dipotong untuk membayar sisa utang. Kami tidak punya apa-apa lagi.

MENJADI PENYELAMAT

Tetapi, kehidupan harus tetap berjalan. Baru satu di antara lima abangku yang bekerja. Maka, ibu kembali menjadi penyelamat. Dia membuka usaha jualan warung nasi soto di pasar bagi penjual sayur dan kuli pasar. Ibu menanggalkan semua kebanggaannya sebagai istri perwira polisi. Dia turun ke pasar, bergaul dengan tukang becak dan kuli angkut barang.

Bertahun-tahun, ibu berjuang. Saat orang-orang mulai lelap di peraduan, ibu bangun, dan mulai memasak. Subuh, sudah jualan. Lepas tengah hari, ibu pulang sambil memba-wa belanjaan untuk dagang besoknya. Tidak sempat istirahat, ibu masih harus mengurus suami dan ketujuh anaknya: membersihkan rumah, mencuci, dan semua pekerjaan rumah tangga lainnya. Selain itu, ibu juga melayani kekejaman ayah yang menghebat sejak ia mengalami masalah di kantor. Ibu masih harus menghadapi masalah lain. Kami, anak-anaknya, tidak serius belajar sehingga mendapat pendidikan seadanya. Kebiasaan buruk yang sudah menurun membuat tiga abangku yang terbesar sering kali pulang dalam keadaan mabuk.

AGEN PENEBUS

Aku mengenal Kristus sebagai Juruselamat dalam sebuah KKR tahun 1980. Hatiku yang baru disentuh Injil menggebu-gebu melayani keluarga, terutama ibuku. 1981 ibuku dirawat di rumah sakit. Saat ibu dalam keadaan putus asa karena penyakit yang tidak kunjung sembuh, saya mengajak ibu berdoa, meminta kesembuhan dari Tuhan. “Tuhan tidak ada!” jawab ibuku ketus. “Kalau Tuhan ada, saya mau Dia mengeluarkan saya dari sini.”

“Yakinlah,” aku menantang ibu. “Tuhan akan memberi.”Walaupun ibuku masih ragu-ragu, kami berdoa juga. Ibu memohon agar Tuhan mengasihaninya. Tuhan menjawab doa kami. Malam itu dokter menemui ibu dan berkata, “Besok, Ibu boleh pulang.” Ibuku sembuh dan pulang keesokan harinya.

Anugerah Tuhan belum berhenti. Dia juga menjamah ayahku. Melihat perubahan besar dalam diri istri dan putranya, ayah digerakkan mencari Tuhan. Ayahku juga mengalami pembaruan dalam sebuah kebangunan rohani di Medan. Sejak itu ayah menjadi sangat rajin membaca Alkitab, melayani dan banyak memberitakan Injil. Buah pertobatannya membuat anak-anaknya ikut berubah dan akhirnya menerima Kristus.

SEMUA BERUBAH

Sejak itu, kehidupan keluarga kami berubah. Kesabaran ibuku membuahkan hasil. Abang-abang dan adikku, serta banyak anggota keluarga lain akhirnya mengenal Kristus melalui pertobatan mereka. Ayah juga makin dekat dengan Tuhan dan mulai banyak berubah.

1986, ayahku sakit keras. Ibuku melakukan komitmennya, berjuang mengurus suaminya yang sakit, suami yang dulu sering menyiksa hidupnya. Itulah kuasa cinta dan kuasa pengampunan. Ibu rela menjadi agen penebus bagi suami dan anak-anaknya. Seandainya, di tengah perjalanan ibuku menjadi putus asa dan meninggalkan ayahku, tentu riwayat keluarga kami akan berbeda.

Sungguh ibu yang luar biasa. Pengorbanan ibu menjadi teladan bagi kami dan siapa saja yang mau menjadi agen penebus bagi keluarganya. Mengenang cinta ibu, aku menuliskan syair di bawah ini:

KASIH IBU TAK TERLUPAKAN

(Julianto Simanjuntak, 11 Mei 2001)

Betapa mulia cinta kasihmu
Betapa dahsyat pengorbananmu
Yang ku t’rima dari ibuku
Yang Tuhan b’rikan bagiku

Darah tercurah melahirkanku
Tangannya lelah membesarkanku
Kasih ibu sepanjang hidupku
Akan kukenang selalu

Reff:
Meski ibu kini t’lah tiada
Namun kasihmu tak akan kulupa
Bagiku kasihmu tiada duanya
Kasih ibu warisan mulia


(seperti yang ditulis dan dikisahkan oleh Pdt. Julianto Simanjuntak)
« back




© 2002-2008 bahana-magazine.com

No comments: