Saturday, September 20, 2008

Yakinkah Perbankan Kita Aman?

INILAH.COM, Jakarta – Krisis sektor keuangan Amerika Serikat yang bagaikan bom waktu telah meledak awal pekan ini dengan menelan korban Lehman Brothers, Merrill Lynch dan juga perusahaan asuransi terbesar dunia American International Group (AIG).


Lantas, apakah dampak ledakan itu akan dirasakan hingga ke Indonesia?

Sejauh ini dampaknya baru terasa di lantai bursa, yang diwarnai dengan berjatuhannya sebagian besar saham akibat panic selling sejak kabar ambruknya para raksasa keuangan Amerika itu menyeruak di pasar.

Bahkan, indeks harga saham gabungan (IHSG) ambruk di bawah level psikologi 2.000 menjadi di kisaran1.700-an, level terparah sejak akhir 2006 lalu.

Untuk mengatasi aksi panic selling itu, pemerintah dan otoritas bursa segera turun tangan dengan meyakinkan pasar bahwa apa yang terjadi di Amerika itu sejauh ini belum memberikan pengaruh terhadap ekonomi Indonesia. ‘Bujukan’ itu ternyata manjur, karena setelah dua hari perdagangan indeks terperosok, pada perdagangan Rabu (17/9) indeks Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali bergairah.

Pada perdagangan Rabu, IHSG akhirnya ditutup menguat 34,250 poin di level 1.769,89, indeks LQ45 naik 8,82000 poin di level 355,09 dan JII terdongkrak 5,41000 poin menjadi 269,87. Volume perdagangan tercatat 3,317 miliar lembar senilai Rp 3,669 triliun. Terdapat 143 saham menguat, 52 saham melemah dan 58 saham lainnya stagnan.

Tapi apa yang terjadi pada keesokan harinya? Benar saja, indeks kembali melempem, meski tidak terlalu dalam karena masih ditopang oleh beberapa saham tambang yang menguat setelah harga minyak mentah kembali menguat di kisaran US$ 97 per barel di New York, Rabu (17/9).

Apalagi saham-saham perbankan ramai-ramai terjun ke zona merah akibat sentimen negatif dari pelemahan di Wall Street yang dipicu kecemasan pasar terhadap masa depan sektor keuangan Amerika menyusul penalangan pemerintah terhadap AIG senilai US$ 85 miliar. Itu menandakan pasar masih yakin korban-korban subprime mortgage berikutnya akan menyusul.

Lalu apakah pemerintah dan otoritas di Indonesia masih menganggap krisis di Amerika itu tak akan terjadai di Tanah Air? Padahal negara-negara Asia lainnya, seperti Jepang, Korea dan Taiwan sudah bergegas untuk mengantisipasi ancaman krisis itu.

Jangan sampai buaian seperti yang terjadi pada 1997 lalu kembali terulang. Ketika itu Presiden Soeharto meyakinkan bahwa krisis moneter yang menimpa Asia tidak akan merembet ke Indonesia. Tapi apa yang terjadi? Indonesia justru terkena dampak yang lebih parah dan paling lama bangkit dari krisis keuangan itu yang diwarnai dengan hancurnya nilai tukar rupiah hingga hampir menyentuh Rp 20.000 per dolar.

Terlebih lagi ada peringatan dari Bank Pembangunan Asia (ADB) agar lembaga perbankan di Asia untuk mengantisipasi terhadap kemungkinan terimbas oleh krisis yang dihadapi lembaga keuangan papan atas Amerika.

Presiden ADB Haruhiko Kuroda mengatakan di Manila, Kamis (18/9), ambruknya sejumlah lembaga keuangan raksasa AS seperti Lehman Brothers, Merrill Lynch dan perusahaan asuransi terbesar dunia American International Group (AIG), berpotensi menggiring bank-bank besar di Asia ke lembah yang sama.

Untuk itu, Kuroda meminta regulator dan bank sentral di Asia berkoordinasi dalam menentukan langkah kebijakan untuk menjaga stabilitas di kawasan ini.

“Meski seumpama kerugian akibat subprime itu lebih rendah dari wilayah lain, namun tak ada jaminan kejadian yang melanda sejumlah lembaga keuangan di Barat itu tidak berpengaruh terhadap lembaga-lembaga keuangan Asia,” kata Kuroda.

Kuroda meminta seluruh bank sentral dan regulator di Asia mencermati apa yang terjadi di Amerika dan juga memikirkan langkah-langkah yang harus dilakukan seandainya krisis itu merembet ke Asia.

"Kita masih perlu mencermati perkembangan yang terjadi akibat imbas dari kejadian yang menimpa sektor keuangan Amerika pekan ini dan kemungkinan yang terjadi pada lembaga keuangan di Asia,” katanya dalam pidato sambutannya dalam konferensi soal krisis subprime-mortgage.

Apalagi jika melihat situasi terakhir yang diwarnai dengan panic selling di sejumlah lantai bursa dunia, termasuk di Asia dan Indonesia.

Bangkrutnya bank investasi Lehman Brothers dan dana talangan sebesar US$ 85 miliar dari pemerintah AS untuk mengatasi masalah keuangan yang dialami perusahaan asuransi terbesar dunia American International Group (AIG) pekan ini, tak pelak telah menghantam saham-saham perbankan di Asia serta memicu bank sentral untuk menggelontorkan dolar dalam jumlah besar untuk menstabilkan nilai mata uang lokal, yang ikut terimbas lesunya pasar saham.

Lalu sampai kapan perbankan kita selamat dari imbas krisis keuangan di AS? Ada baiknya kita selalu bersikap waspada dan mengikuti saran dari ADB, dan jangan sampai pengalaman krisis moneter 1997 terulang karena kita selalu terbuai dengan klaim kekuatan yang ternyata tak terlalu bertenaga.

[

No comments: